Bukan Mesin Hukum

Rencana revisi Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), terus bergulir dalam tiga minggu terakhir. Pemerintah melalui Menteri Koordinator Hukum dan Hak Asasi Manusia, menyebut masih mempelajari (Serambi, 20/2/2021). Sekedar informasi bahwa dalam dua minggu …

Rencana revisi Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), terus bergulir dalam tiga minggu terakhir. Pemerintah melalui Menteri Koordinator Hukum dan Hak Asasi Manusia, menyebut masih mempelajari (Serambi, 20/2/2021). Sekedar informasi bahwa dalam dua minggu terakhir, seorang ibu mendekam di penjara bersama anaknya yang masih enam bulan setelah divonus bersalah karena melanggar UU ITE.

Penelusuran saya, rencana revisi ini mulai dimuat Serambi sejak 17 Februari. Sepanjang waktu tersebut, terdapat sekitar 11 berita yang terkait dengan UU ini. Sebagian kasus sudah memperlihat ancaman UU ini sebagai hantu yang ditakutkan berdampak bagi publik dalam menyampaikan pendapatnya.

Memahami kegelisahan tersebut, tidak berlebihan jika editorial Serambi (18/2/2021) mempertanyakan apakah revisi UU ITE akan menjamin kenyamanan berekspresi?

 

Semakin tidak sehat

Pemerintah dan penegak hukum menyadari bahwa UU ITE, semakin tidak sehat (Serambi, 17/2/2021). Pertama, ada kecenderungan fenomena saling lapor terkait lalu lintas informasi dan traksaksi dalam ruang elektronik di negara ini. Bahkan ironisnya, pelapor itu kadang-kadang bukan sebagai pihak korban utama.

Kedua, penegak hukum menyadari posisinya yang rentan disudutkan dengan kesan seolah-olah lebih tanggap terhadap laporan tertentu dan mengabaikan yang lain. Ada laporan tertentu yang mendapat respons dengan cepat, namun ada juga yang hingga sekarang tidak kabarnya.

Ketiga, potensi adanya pasal karet. Sejumlah pasal yang berpotensi digunakan menurut selera. Tidak dibedakan dengan baik mereka yang disebut pengkritik dan penghina. Hal-hal yang dilakukan walau itu berwujud kritik, sering dituduhkan melakukan penghinaan dan melakukan pencemaran nama baik.

Ketiga, hal humanis diingatkan kepada kepolisian kepada jajarannya, untuk mendalami terlebih dahulu setiap kasus yang dilaporkan. Hal ini dimaksudkan agar pelapor tidak menggunakan pasal-pasal karet tersebut untuk menjerat orang lain dengan mengatasnamakan hukum dan berpotensi memojokkan kepolisian.

Keempat, respons legislatif yang cepat dengan janji akan segera membahas masalah ini setelah masa reses. Seberapa memahami realitas pelaksanaan hukum terkait penerapan pasal-pasal karet? Toh selama ini, jarang ada anggota legislatif menyuarakan dan membela dengan terang orang-orang yang sudah diputuskan bersalah di ruang-ruang pengadilan.

Semua keadaan di atas sangat menarik, terutama bagi saya yang mengkaji hukum dalam relasi yang lebih luas. Hukum sebagai variabel dependen dan bukan independen.

Dengan membaca sejumlah hal lain yang ada di media sosial, ada dua hal penting yang harus mendapat perhatian pengambil kebijakan bahkan penegak hukum, dalam ruang melihat hukum secara kritis. Pertama, ada apa kok baru sekarang kesadaran pemanfaatan pasal karet itu baru muncul? Apakah hal ini terkait dengan dugaan karena keterlibatan sejumlah orang-orang yang dekat dengan kekuasaan sedang dilaporkan dengan UU ini? Mudah-mudahan bukan.

Kedua, legislatif yang memberi respons dengan cepat, terkait kasus ini, juga tidak kalah menimbulkan tanda tanya. Ada apa? Mengapa untuk rancangan lain yang bahkan sudah masuk program legislasi nasional berkali-kali pun, ada yang belum tuntas?

 

Mekanikal Hukum

Fenomena saling lapor sedang beranjak naik. Ironisnya yang melaporkan tidak selalu mereka yang menjadi korban secara langsung. Kekuatan politik menjadi pihak yang dominan menggunakan jurus ini. Atas nama hukum, orang-orang yang tidak disukai akan dilaporkan dengan tuduhan perbuatan tidak menyenangkan, mencemarkan nama baik, menebar kebencian, bahkan merusak keberagaman.

Dugaan menggunaan pasal tertentu untuk kepentingan tertentu, bukan tidak pernah terjadi dalam realitas berhukum. Dan hal ini memungkinkan terjadi dalam kajian ilmu hukum. Diskursus perdebatan lama dalam ilmu hukum, antara lain dengan tarik menarik dalam melihat tujuan hukum, antara kepastian, kemanfaatan, dan keadilan. Ada satu pendapat lama yang diungkapkan seorang filsuf positivisme hukum berkebangsaan Jerman, Gustav Radbruch, melihat hal tersebut tidak sebagai tujuan hukum, melainkan sebagai nilai dasar hukum yang sulit untuk disatukan. Ketiganya (kepastian, kemanfaatan, keadilan) memiliki cara berhukum dan orientasi yang berbeda.

Melalui tulisan singkat ini saya ingin melihat nilai dasar kepastian hukum yang kemudian sering ditafsirkan hanya mengejar ketertiban saja. Hukum pada posisi ini, jika ditelusuri sejak abad ke-17, dikelompokkan ke dalam cara berhukum yang mekanistik. Hukum dianggap sama seperti mesin yang serba bisa dalam bekerja dan tidak dipengaruhi realitas sosial, politik, ekonomi, bahkan budaya.

Cara pandang mekanistik hukum ini, dipengaruhi cara berpikir Rene Descartes (1596-1650) dan Isaac Newton (1642-1726), yang digunakan pemikir hukum untuk melihat hukum dalam makna tertentu. Disebut mekanistis karena seluruh alam semesta dan juga manusia, dilihat dengan rumus mekanis. Dilihat semacam mesin yang bisa bekerja secara mekanistis dan bisa dianalisis dan diprediksi secara terpisah dari keseluruhan yang membentuknya (Susanto, 2010).

Sejumlah asumsi hukum yang mekanistik, antara lain melihat hukum benar-benar objektif dengan memosisikan dualisme dalam membagi realitas (subjek dan objek). Di samping itu, mekanistik dibangun atas dasar asumsi bahwa alam semesta semata-mata dipandang sebagai mesin yang mati tanpa makna simbolik dan kualitatif, tanpa nilai, tanpa cita rasa etis dan estetis.

Cara pandang hukum yang demikian, memandang bahwa suatu realitas hukum harus dipisahkan dari kaitannya dengan moral. Hukum digunakan seperti mesin yang lepas dari pengendali mesin itu sendiri.

 

Ada Sisi Keadilan

Atas berbagai keadaan di atas, harus diingatkan kepada siapa pun untuk melihat hukum secara utuh. Penegakan hukum idealnya memang tidak hanya berdasarkan pada tujuan kepastian saja, tetapi turut melihat aspek kemanfaatan dan keadilan.

Kondisi ini, dalam kajian ilmu hukum, terkait konteks cara berhukum, pada satu sisi dihadapkan orientasi kepatuhannya, namun pada sisi lain, jika tidak hati-hati, dihantui oleh menggunakan hukum tidak untuk kepentingan hukum itu sendiri. Hal itu memungkinkan karena posisi hukum sebagai subsistem yang selalu berelasi dengan subsistem yang lain seperti politik, ekonomi, bahkan sosial budaya.

Hal yang menggelisahkan saat melihat dalam tiga tahun terakhir, kita menyaksikan bagaimana suasana saling lapor seolah dipandang sebagai bagian menjadikan hukum sebagai panglima. Semua berbicara atas nama hukum. Padahal hukum sering dijadikan alat bahkan hal-hal yang nonhukum sering menjadi kekuatan untuk melaksanakan hukum.

Hukum itu terkesan sudah terlihat bekerja seperti mesin yang hanya menjalankan sesuai dengan rumus teks yang tidak jarang ditafsirkan secara sepihak saja. Pada saat yang sama, hukum juga kerap memperlihatkan kontradiksi. Tidak semua laporan ternyata ditindaklanjuti. Dalam realitas penegakan hukum, bisa saja penegak hukum memiliki pandangan tersendiri.

Lantas apa yang mau dikejar dalam hukum dan berhukum? Mereka yang hanya bekerja secara formal, seperti mesin yang digerakkan dan sudah terpasang dalam rumus-rumusnya, hanya mementingkan kepastian dengan melupakan ada keadilan dan kemanfaatan di dalamnya. Sedangkan hukum yang utuh, tidak mungkin melupakan nilai dan moral sebagai kekuatan penting dari keadilan dan kemanfaatan.

Keadaan yang tidak normal dalam dunia hukum ini harus dihentikan. Kita jangan terlelap untuk kembali ke zaman sebelum reformasi. Mari menegakkan hukum dengan hukum, bukan dengan saling lapor.

https://aceh.tribunnews.com/2021/03/17/bukan-mesin-hukum

Leave a Comment