Bukan Uang Segala-galanya

Tidak semua orang bisa dinilai dengan uang. Banyak orang yang tidak memiliki uang. Banyak orang yang membutuhkan uang. Lantas jangan menilai dengan garis datar, bahwa semua aktivitas yang dilakukan akan dihitung oleh semua orang yang …

Tidak semua orang bisa dinilai dengan uang. Banyak orang yang tidak memiliki uang. Banyak orang yang membutuhkan uang. Lantas jangan menilai dengan garis datar, bahwa semua aktivitas yang dilakukan akan dihitung oleh semua orang yang membutuhkan uang. Tidak demikian.

Orang yang membutuhkan uang, akan terbagi ke dalam sejumlah bagian. Dua di antaranya adalah mereka yang mengambil apa saja yang menghasilkan uang; satu lagi, mereka yang akan mengambil menurut haknya, dan memungkinkan tidak semua bisa dihitung dan dikalkulasikan harganya.

Sesuatu yang tidak dikalkulasi harga, bukan karena tidak bernilai. Orang yang melahirkan sesuatu yang besar, bisa saja memberi sesuatu itu secara cuma-cuma, terutama untuk mereka yag tidak mampu mengakses. Jadi tidak semuanya akan dihitung.

Saya mengenal beberapa orang yang memiliki semangat seperti guru saya ini. Ia selain mengajar, ternyata juga menulis dan menerbitkan banyak buku. Ketika suatu kali saya sempat berkunjung ke rumahnya, kursi tamu tidak tersusun rapi di ruang tamu yang sempit. Rumah tipe 36. Di seluruh dinding, ditempel gambar sampul buku yang pernah diterbitkan.

Banyak buku yang sudah diterbitkan oleh publisher. Ia mendapat royalti dari bukunya itu. Tetapi maklumlah, royalti buku itu tidak seberapa. Royalti adalah sejumlah tertentu yang dibayarkan untuk penggunaan properti, seperti hak paten, hak cipta, dan lain-lain. Orang mendapatkan jumlah tertentu dari hasil penjualan karyanya yang diproduksi.

Guru saya ini, karyanya sangat banyak, dengan jumlah royalti yang tidak seberapa. Masalahnya adalah ia tidak begitu peduli dengan jumlah royalti. Sekiranya bukunya dibaca dan direproduksi, bukan untuk tujuan komersil, baginya tidak apa-apa. Walau pihak yang menerbitkan akan mengalami kerugian. Tetapi baginya tidak masalah.

Suatu kali ia malah menyaksikan mahasiswa mengopi bukunya berduyun-duyun. Ia tersenyum saja. Begitu penerbit tahu ia tidak bereaksi atas karyanya, penerbit memutuskan tidak lagi melanjutkan cetakan selanjutnya.

Ia sangat bangga dengan buku yang dihasilkan. Berulang kali ia memperlihatkan kepada saya yang waktu itu, kami duduk di kursi ruang tamu rumahnya. Ia juga berkali-kali memperlihatkan buku-buku yang telah dituliskannya. Ia menyebutkan hal yang sederhana. Ini adalah peninggalan saya, nantinya. Begitu ia menyebut.

Saya tanya mengenai bagaimana ia bisa mereproduksi. Selain buku yang diterbitkan oleh penerbit, ada pula sebagian yang diterbitkan sendiri, karena beberapa karya tidak diterima penerbit dengan alasan susah pangsa pasarnya. Sumber biaya untuk menerbitkan itu dikeluarkan dari berbagai honor yang diterimanya. Misalnya honor memberi seminar atau mengajar, setelah diserahkan sejumlah tertentu untuk kebutuhan keluarga, selebihnya dipakai untuk mereproduksi buku.

Ketika saya ke rumah beliau, masih ada satu buku sedang dikerjakan. Hal penting yang saya tanyakan, bagaimana ia menulis dengan kesibukannya yang luar biasa. Baginya, ia tidak sibuk. Aktivitasnya, katanya, biasa saja. Yang melihat sibuk adalah orang lain. Sementara yang mengatur waktu adalah kita sendiri. Pada niat untuk melakukan, ia tanya, mau tidak kita tekad melakukannya. Ketika seseorang ingin melakukan sesuatu, dengan tekad sekuat baja, maka dalam rentang waktu yang bagaimana pun, akan tetap bisa diselesaikan.

Manusia, katanya, sering memberi banyak alasan. Ironisnya, alasan tidak bisa atau tidak mampu, diberikan ketika mereka belum mulai melakukan sesuatu. Alasan tidak, sudah diutarakan ketika mereka malah belum memulainya.

Itulah semangat. Sama seperti seorang lainnya, sastrawan senior yang saya kagumi, pernah kecelakaan sekitar 30 tahun lalu. Kini dengan modal sendiri, ia sering menerjemahkan dan menerbitkan hikayat. Ya, dengan biaya sendiri. Zaman ini, hikayat sudah tidak laku. Ia pun sering membagi-bagikannya secara gratis. Penguasa pun tak peduli.

Saya pribadi masih harus banyak belajar tentang kesederhanaan hidup, yang sering salah kaprah dinilai orang seolah-olah materi adalah segalanya dalam hidup.

Leave a Comment