Apa yang ada di pikiran kita, melihat seorang yang sudah tua, berdiri di pintu keluar warung makan, sambil menjajakan kue atau sejenisnya kepada pelanggan warung? Jawabannya bisa berbagai macam. Ada yang menganggap sedang mengemis, meminta belas kasih, dan sebagainya.
Ketahuilah bahwa tidak semua orang ingin menerima belas kasihan. Ada orang yang walau sudah tidak lagi kuat, namun berusaha mencapai kualitas kehidupannya. Orang yang berusaha memenuhi berbagai kebutuhan, tanpa menggantungkan pada orang-orang di sekitarnya. Orang yang semacam ini, sebenarnya spirit bagus, namun juga tidak boleh melupakan orang sekitar. Ada orang-orang di sekelilingnya yang tidak rela orang yang sudah berusia lanjut masih berusaha mencari uang sendiri.
Semangat yang dimiliki, selalu bisa dihitung. Mereka yang tidak ingin merepotkan banyak orang, memiliki semangat yang baik di satu sisi, namun juga memberi kesan tidak baik, di sisi lain. Untuk orang-orang yang tulus ingin mendampingi orang tuanya, tentu akan merasa berkecamuk batinnya saat melihat ada orang yang berusaha seperti itu.
Semangat semacam itulah yang pernah saya saksikan. Makan di suatu tempat, seperti mendapat tamparan berkali-kali. Pasalnya, dengan dua teman lainnya makan nasi sambal di warung nasi perempatan jalan, berhadapan dengan seseorang yang sudah uzur, yang menawarkan makanan, namun kami abaikan nilai perjuangan hidupnya.
Bentuk warung yang kami datangi itu agak mencolok ke jalan, sehingga tempat itu terlihat walau dari jauh. Dengan tulisan yang juga mencolok, membuat orang-orang yang lewat dengan mudah membaca dan mengetahui menu-menu di dalamnya.
Warung ini konsisten pada sambal. Kekuatan sambal sebagai utama, yang lainnya, sepertinya hanya untuk kebutuhan nomor dua. Setiap memesan nasi putih, selalu diantar dengan semangkok kecil sop, dan sepiring kecil sambal. Selalu begitu. Jadi orang ke sini memang untuk merasakan sambalnya, sebagai yang utama.
Sebenarnya resep itu bukan asli punya orang kita. itu resep luar, yang pelan-pelan seperti mendapat tempat di lidah orang kita. sambal yang sesungguhnya sangat sederhana, namun seperti candu yang membujuk orang-orang untuk datang dan merasakannya.
Saya dan tiga teman, juga ingin mencari itu. Tidak lebih. Mendengar kabar dari mulut ke mulut, terdengar tempat ini sebagai tempat yang menarik. Ketika datang dan makan, rasanya ketiga kami merasa tidak ada yang kurang.
Ketika keluar dari pintu warung itulah, ada seseorang yang datang menawarkan makanan. Kalau tidak salah, kue bawang yang sudah dibungkus sedemikian rupa dengan harga Rp 15 ribu saja. Merasa sudah makan, kami memberikan uang Rp 10 ribu dengan memasukkan ke keranjangnya.
Ternyata ibu ini marah. Katanya: Nak, saya tak sedang mengemis, saya sedang menjual makanan ini. Harganya Rp 15 ribu, kalau tidak mau beli tidak apa-apa, tidak usah memberi uang.
Terus-terang, dengan keadaan seperti itu, kata-katanya menusuk tepat ke jantung. Sambil pulang, kami berdiskusi tentang orang yang tidak mau hidup karena rasa kasihan orang. Dengan umur yang mungkin lebih 70 tahun, maka orang tua ini sangat luar biasa. Semangatnya luar biasa. Ketika sudah sepuh, ia tidak mau berpangku tangan.
Pengalaman itu, membuat kami berjanji untuk datang ke sana, esok harinya. Kali ini, cerita memang tidak lagi tentang sambal. Ketika masuk ke warung, saya mencari si ibu dan menawarkan ikut makan bersama kami. Ia menerima, walau awalnya menolak.
Sambil makan itulah, kami bertiga mendengar kisahnya yang luar biasa. Tiap sore ia menyiapkan kue yang akan dijual, besok paginya. Setelah siang, ketika pengunjung warung berkurang, ia segera pulang. Selalu begitu.
Anaknya sudah menjadi korban tsunami. Suaminya meninggal masa konflik. Ia tinggal di rumah sederhana di pinggir kota. Ia hanya berharap, menemui ajal ketika orang-orang ada di rumahnya. Tidak lebih.