Catatan Damai

Ada sejumlah buku menceritakan bagaimana proses damai Aceh. Antara lain bagaimana dalam buku Aguswandi dan Judith Large merekam jejak damai dalam cara pandang yang lebih luas. Konfigurasi dan pengaruhnya, serta pengaruhnya sebagai proses politik bagi …

Ada sejumlah buku menceritakan bagaimana proses damai Aceh. Antara lain bagaimana dalam buku Aguswandi dan Judith Large merekam jejak damai dalam cara pandang yang lebih luas. Konfigurasi dan pengaruhnya, serta pengaruhnya sebagai proses politik bagi perdamaian Aceh (Aguswandi & Large, 2008).

Kita tidak boleh lupa perjalanan panjang konflik yang terjadi. Perjalanan sejarah Aceh, selain berisi kegemilangan, juga penuh dengan konflik (Sulaiman, 1997). Maka capaian damai pada dasarnya berdasarkan rangkaian untaian-untaian dalam perkembangan sejarah di Aceh.

Damai itu sendiri tidak langsung berhasil. Proses dan inisiasi untuk damai, sudah berlangsung lama dan melibatkan banyak pihak, baik di dalam maupun di luar negeri. Keterlibatan asing, di satu sisi dibutuhkan dalam mempercepat proses, namun di sisi lain digugat karena dianggap terkait dengan proses internasionalisasi masalah dalam negeri.

Catatan sebelumnya ditulis Aspinal ketika damai Aceh mengalami kegagalan. Sebelum status darurat militer diterapkan negara di Aceh. Kegagalan dalam proses damai pun tidak bisa dilihat sederhana dan sering kali tidak selalu kasat mata (Aspinal & Crouch, 2003). Sama seperti sejarah Aceh hingga damai yang ditulis dengan baik oleh seorang penulis dari luar Aceh. Catatan yang menyebutkan damai itu bukan jalan yang ditempuh secara sederhana, karena di dalamnya berbagai macam terjadi dan berdinamika dari para pihak yang terlibat (Kawilarang, 2008).

Setelah UUPA selesai pun, Aceh juga belum selesai. Masih banyak pekerjaan rumah yang tidak boleh ditinggalkan. Justru berbagai tantangan baru terhidang di depan mata untuk menyelesaikan konflik Aceh hingga tuntas sampai ke akar (Basyar, 2008).

Penjelasan di atas, secara kongkret misalnya dalam hal proses integrasi. Dalam hal ini, ia tak sebatas memindahkan posisi, yakni dari sebelumnya sebagai pemegang senjata, beralih menjadi pelaku politik dalam konsep menyejahterakan rakyat (Nurhasim, 2008). Untuk ke depan, pendekatan-pendekatan yang menyentuh akan jauh lebih efektif dalam menyelesaikan masalah (Djumala, 2012).

Sekali lagi, menyelesaikan konflik kerap harus dilakukan melalui proses panjang dan berliku. Kita harus sabar dalam berusaha untuk menyelesaikannya, dengan melibatkan banyak pihak. Dalam kasus Aceh hingga mencapai titik kesepakatan damai di Helsinki (Kingsbury, 2006).

Idealnya, berbagai perkembangan tersebut mesti direkam dan disosialisasi dengan baik, agar generasi kemudian menjaga dengan sepenuh hati. Siapa pun tidak boleh bermain api untuk mengulangi konflik, karena ganjarannya besar dan tidak terperi. Tidak terhitung. Maka catatan ini pula yang harus diingatkan dalam mengawal revisi UUPA.

 

Leave a Comment