Akademisi Institut Pertanian Bogor, Daniel Murdiarso, menjadi salah satu saksi Indonesia dalam Pertemuan Kyoto, pada Desember 1997. Ia sendiri dipanggil pemerintah untuk menjadi salah satu anggota delegasi dari Indonesia. Salah satu catatannya dari pertemuan penting tersebut, direkamnya dalam satu buku, Protokol Kyoto, Implikasinya bagi Negara Berkembang.
Pada tahun 2003, Daniel Murdiyarso menerbitkan tiga buku sebagai seri perubahan iklim. Selain, Protokol Kyoto, Implikasinya bagi Negara Berkembang, ia juga menulis dua buku lainnya, Sepuluh Tahun Perjalanan Negosiasi Konvensi Perubahan Ikilim dan CDM, Mekanisme Pembangunan Bersih. Ketiga buku, untuk cetakan pertama diterbitkan Penerbit Buku Kompas. Dalam buku CDM, misalnya, dijelaskan bahwa ia diterima sebagai salah satu cara dalam mengimplementasikan Protokol Kyoto (Murdiyarso, 2003).
Sedangkan dalam buku Protokol Kyoto, Implikasinya bagi Negara Berkembang, dijelaskan bahwa protokol sebagai perjanjian internasional tentang lingkungan yang paling kontroversial. Ia menjadi kebijakan lingkungan internasional terpenting abad 21. Belajar dari pengalaman 100 tahun yang lalu, orang menyadari betapa buruhknya planet bumi ini telah diperlakukan, sehingga iklimnya berubah. Jika pola hidup tidak berubah, diperkirakan dalam 100 tahun mendatang bumi tidak akan mendukung lagi kehidupan di atasnya. Protokol Kyoto mengamanatkan agar negara-negara maju menurunkan emisi rata-rata sebesar 5 persen dari tingkat emisi tahun 1990 pada periode 2008-2012 (Murdiyarso, 2007).
Buku ketiga dari seri perubahan iklim, Sepuluh tahun Perjalanan Negosiasi Konvensi Perubahan Iklim, Daniel Murdiyarso menguraikan secara lengkap proses yang terjadi hingga setelah konvensi ini diselesaikan. Dalam pengantar buku ini, dijelaskan bagaimana keterlibatan secara aktif Indonesia yang dari awal menandatangani Konvensi tentang Perubahan Iklim. Setelah itu, Indonesia senantiasa aktif dalam berbagai pertemuan membahas pelaksanaan konvensi ini, karena dampaknya sangat besar pada kehidupan masyarakat bangsa yang hidup di negara kepulauan ini (Murdiyarso, 2003).
Saya ingin kembali pada catatan dari Kyoto yang lahir satu protokol penting. Protokol Kyoto sendiri sebagai tindak lanjut dari Pertemuan Berlin –dalam Conferensi of the Parties (disingkat COP) ke-3 memang dilaksanakan di Berlin, Jerman. COP ke-3 ini konferensi para pihak yang menandatangani United Nation Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) atau diterjemahkan dengan Konvensi Kerangka Kerja Perserikatan Bangsa-Bangsa tengang Perubahan Iklim. COP sebagai serangkaian pertemuan dalam upaya global mengatasi perubahan iklim. Dari Berlin, memulai kesepakatan untuk memulasi negosiasi Protokol Kyoto, yang pada akhirnya mengikat negara-negara maju untuk mengurangi emisi gas rumah kaca.
Laman UNFCCC disebutkan bahwa konvensi ini pada dasarnya proses yang dilakukan PBB untuk merundingkan kesepakatan guna membatasi perubahan iklim yang berbahaya. Konvensi ini merupakan perjanjian internasional antarnegara untuk memerangi campur tangan manusia yang berbahaya terhadap sistem iklim.
Dasar anjak dari UNFCCC ini sendiri berdasarkan konsensus ilmiah yang menyatakan bahwa pemanasan global disebabkan penggunaan bahan bakar fosil dan alih guna lahan. Kegiatan tersebut dapat menghasilkan gas-gas yang makin lama makin banyak jumlahnya di atmosfer, seperti karbon dioksida (CO2), metana (CH4), dan nitrous oksida (N2O). gas-gas tersebut memiliki sifat seperti kaca yang meneruskan radiasi dan memantulkan radiasi gelombang-panjang atau radiasi-balik yang dipancarkan bumi yang bersifat panas, sehingga suhu atmosfer bumi makin meningkat. Inilah alasan disebut gas rumah kaca, yang pengaruh ditimbulkan disebut sebagai efek rumah kaca (Murdiyarso, 2007).
Wallahu A’lamu Bish-Shawaab.