Catatan Masa Lalu

Ada pertanyaan taktis yang penting untuk dijawab: dalam konteks konflik Aceh yang menghasilkan damai di Helsinki, sejak kapan konflik itu bisa menjadi bahan pembelajaran bagi kita semua? Saya kira semua babak sejarah akan berkepentingan dan …

Ada pertanyaan taktis yang penting untuk dijawab: dalam konteks konflik Aceh yang menghasilkan damai di Helsinki, sejak kapan konflik itu bisa menjadi bahan pembelajaran bagi kita semua?

Saya kira semua babak sejarah akan berkepentingan dan berelasi ketika kita ingin melihat keadaan Aceh secara utuh dan holistik. Dengan demikian, menurut saya, sepertinya kita tidak mungkin yang terjadi pada fase pasca 1989, dipisahkan dari babak sejarah Aceh sebelumnya.

Aceh pernah memiliki sejarah peradaban yang gemilang di dunia (Usman, 2003). Atas dasar itulah, berbagai perkembangan yang terjadi tidak boleh dilupakan saat melihat Aceh –yang dalam konteks ini selalu harus menyatu antara masa lalu, masa kini, dan masa mendatang.

Memahami konflik Aceh yang terkait UUPA, kiranya harus dilihat dalam perjalanan sejarah konflik Aceh yang utuh. Walau untuk mendapatkan gambaran bagaimana lahirnya UUPA, saya kira penting melihat Aceh secara utuh dalam konteks konflik. Hanya saja pembentukan UUPA yang merupakan tindak lanjut dari lahirnya MoU Helsinki, sering kali hanya dilihat dalam potongan konflik 1976-2005 (Tripa, 2012).

Ada beberapa fase konflik yang terkait dengan Aceh. Fase awal saat menggambungkan diri dalam pemberontakan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII). Lalu ada daerah operasi militer yang dicabut tanggal 7 Agustus 1998 oleh Panglima ABRI Jenderal Wiranto. Serta konflik pascareformasi, yang antara lain muncul setelah 1999 akibat pemerintah lambat mengambil langkah-langkah kongkret untuk menyelesaikan dampak dari pelaksanaan operasi militer (Abdullah, 2011).

Pemberontakan Aceh dipimpin seorang ulama Teungku Muhammad Daud Beureueh diproklamirkan sejak 20 September 1953. Pemberontakan ini bergerak dengan masif dengan jumlah keikutsertaan warga yang tidak sedikit jumlahnya (Dijk, 1983).  Pemberontakan ini disebabkan beberapa pemicu, antara lain Aceh dihalangi untuk melaksanakan syariat Islam secara khusus di Aceh. Kekecewaan Abu Daud Beureueh kian memuncak saat Provinsi Aceh yang awalnya sebagai provinsi yang otonom, tiba-tiba digabungkan sebagai bagian dari Provinsi Sumatra Utara (Ibrahimy, 1982).

Kondisi di atas, berbanding terbalik dengan harapan rakyat Aceh, mengingat Aceh memiliki kontribusi penting bagi republik (Saleh, 1992). Pemberontakan ini sendiri bergerak masif dan total disebabkan keterlibatan tokoh kultural sebagai penggerak utama. Ulama menjadi panutan penting dalam ruang sosial di Aceh (Amiruddin, 2004).

Saya menemukan banyak catatan yang menyebutkan Aceh memiliki peran penting bagi republik dan revolusi kemerdekaan. Peran ini tentu saja bukan sesuatu yang sederhana, melainkan selalu ada harapan tertentu yang ingin dicapai saat perjuangan sudah selesai (Alfian, 1982). Kekuatan inilah yang menyebabkan Aceh bisa menjadi kekuatan penting bagi kemerdekaan (Husain, 1990).

Leave a Comment