Catatan dalam bagian sebelumnya, yang sudah saya uraikan, memperlihatkan bahwa usaha untuk mencapai damai, terus dilakukan walau pada babak tertentu mengalami jalan buntu. Pengalaman penting dari proses dialog yang mengalami jalan buntu adalah Tokyo Meeting. Gagalnya agenda dalam Tokyo Meeting akibat masih terjadi perbedaan para pihak, menyebabkan Pemerintah mengambil langkah dan kebijakan untuk menerapkan Darurat Militer. Seiring dengan keadaan tersebut, banyak elemen terus berusaha agar dialog bisa terus berlangsung.
Konflik sendiri selalu tidak mudah diselesaikan. Bahkan untuk konflik-konflik yang level kecil sekali pun, kadang kala juga tidak mudah diselesaikan. Konflik yang sederhana saja, kadang kala sangat rumit untuk diselesaikan, konon lagi konflik yang sudah melibatkan banyak orang dan banyak pihak, dengan skala yang luas. Termasuk ukuran waktu terjadinya konflik yang sudah mencapai puluhan tahun. Upaya menyelesaikan konflik semacam ini, tentu saja membutuhkan energi yang tidak sedikit. Butuh upaya meyakinkan para pihak dari banyak elemen. Selain itu, proses ini juga akan membutuhkan orang-orang yang sabar dan tidak mudah patah semangat. Mencari orang-orang yang berkemampuan seperti ini, juga tidak mudah bagi para pihak.
Ada catatan penting dari seorang anggota legislatif asal Aceh, Ahmad Farhan Hamid, melalui rekaman khusus tentang sejumlah potongan proses panjang damai Aceh dalam sebuah buku, Jalan Damai Nanggoe Endatu. Buku ini mencatat bahwa penyelesaian konflik Aceh bukan jalan yang sederhana yang ditempuh para pihak. Di luar pihak utama, ada pihak lain yang juga berperan dalam proses tersebut. Proses mewujudkan damai didahului tekad para pihak. dan butuh kerja keras dalam prosesnya (Hamid, 2006).
Ahmad Farhan Hamid memiliki pengalaman sebagai anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Bahkan, ia pernah dipercayakan menjadi salah satu wakil Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR). Posisi ini, terutama saat kondisi daerah yang masih konflik, memiliki hal yang menjadi catatan. Buku tersebut di atas, dapat menjadi salah satu sumber dalam melihat bagaimana dinamika dalam dialog dan menyelesaikan konflik secara menyeluruh.
Apa yang disebutkan di atas, pada dasarnya tersebut bukan sesuatu yang berlebihan, mengingat konflik vertikal Aceh-Jakarta sebagai salah satu konflik yang sudah lama berlangsung (Bhakti, 2008). Jika ditelusuri dalam sejumlah literatur, memperlihatkan konflik Aceh sebagai salah satu konflik yang selain sudah lama, juga skala yang terus membesar, setidaknya jika dibandingkan dengan saat awal konflik muncul.