Cendikiawan dan Syahwat Kekuasaan

Orang pandai, memiliki tanggung jawab yang lebih untuk dunia di sekelilingnya. Istilah menara gading (ivory tower) semakin ditolak. Dunia orang pandai tidak boleh lagi bertapa hanya di tempatnya saja. Seorang pandai harus turut bergumul dengan …

Orang pandai, memiliki tanggung jawab yang lebih untuk dunia di sekelilingnya. Istilah menara gading (ivory tower) semakin ditolak. Dunia orang pandai tidak boleh lagi bertapa hanya di tempatnya saja. Seorang pandai harus turut bergumul dengan masalah sosial sebenarnya yang ada dalam masyarakat.

Istilah tidak menjadi menara gading sendiri bukan tidak bisa dimanipulasi. Orang yang sudah terlibat untuk dunia sekelilingnya, muncul pertanyaan lain, yakni untuk siapa mereka mengabdi. Ada orang yang ternyata menjadikan masalah sebagai sumber penghasilan. Sesuatu dilakukan, bergumul turut serta, namun semua itu dikalkulasi dengan rumus lain. Posisi ini juga bertolak belakang dengan kepentingan sesungguhnya dari keberadaan orang pandai.

Penggunaan istilah orang pandai sendiri bisa ditafsir bermacam-macam. Salah satu yang dekat dengan kata ini adalah intelektual. Bedanya adalah pada tanggung jawab lahir batin dari ilmu yang dimiliki. Intelektual tidak berpaling dari apa yang terjadi dalam masyarakat. Dengan demikian, seseorang yang disebut dengan orang pandai, tidak langsung bisa diklaim sebagai seorang intelektual.

Daniel Dhakidae (2003) dalam bukunya Cendekiawan dan Kekuasaan dalam Negara Orde Baru, mengungkap pernyataan yang menurut saya sangat penting. Sebutan cendekiawan –yang sepadan dengan intelektual—hanya diberikan oleh orang lain untuk orang lain lagi, dan bukan untuk penamaan diri sendiri. Lantas, dengan pernyataan itu, Dhakidae bertanya untuk seterusnya dijawab dalam buku yang tebalnya hampir 800 halaman. Lantas, tanyanya, siapa mereka (yang disebut cendekiawan itu), dari mana, kapan, di mana, dan kondisi apa yang bisa ditelusuri untuk menemukan suatu sektor dalam masyarakat yang bisa dan boleh disebut sebagai cendekiawan dan kaum cendekiawan? Menurutnya, malah ada yang mempersoalkan apakah memang ada orang yang disebut cendekiawan dan kaum cendekiawan itu?

Terlalu rumit, ternyata memahami apa yang disebut cendekiawan dan kaum cendekiawan. Sekiranya ditanyakan ke orang kampung, mereka dengan mudah menunjuk bahwa mereka yang diklaim sebagai kaum cendekiawan ada di kampus dan di dayah. Dengan suasana demikian, sebenarnya saya lebih nyaman menyebutkan dengan orang pandai. Namun istilah ini adalah istilah yang kita konstruksi untuk orang-orang yang kita anggap pandai? Pertanyaan selanjutnya, apakah orang pandai itu hanya ada di kampus dan di dayah? Logikanya, bukankah orang-orang pandai itu ada di banyak tempat?

Pertanyaan terakhir, sekiranya kita belajar dalam masyarakat lokal, mengenai jagar norma hidup mereka, yang sudah lama ada dan itu luar biasa. Mereka memiliki pengetahuan lokal yang dipergunakan untuk menopang hidup mereka, berhasil mereka dayagunakan dalam hidup pada masanya. Lantas apakah kenyataan ini tidak bisa dikatakan sebagai proses dari kecendekiawan?

Saya teringat satu profesor yang datang dan saya temani dalam satu penelitiannya di kampung-kampung pesisir. dalam satu kesempatan ia berbicara, dengan lugas ia katakan: “Bapak dan ibu, saya ini hanya menulis dan melakukan analisis atas apa yang ibu punya. Saya dulu menyelesaikan pendidikan di semua tingkatan itu dengan apa yang bapak dan ibu punya. Saya hanya menuliskannya kembali, setelah saya tanya-tanya ke bapak dan ibu sekalian. Jadi pada dasarnya, bapak dan ibu sekalianlah yang sesungguhnya memiliki pengetahuan ini. Saya hanya menafsirkan dan menganalisiskan kembali, yang karena itu saya menyelesaikan pendidikan.”

Nah, ketika berhadapan dengan tipe orang demikian, seperti diungkapkan Dhakidae, jangan-jangan apa yang disebut cendekiawan dan kaum cendekiawan, adalah pembayangan, dalam bangunan bayang-bayang. Akan tetapi tunggu dulu, lembaga para orang pandai ternyata juga ada. Ada beberapa kelompok yang membangun diri sebagai organisasi cendekiawan.

Terlepas bagaimana panjangnya kedua istilah itu terbangun lengkap dengan perkembangannya –dan saya sebut dengan orang pandai—adalah mereka yang seyogianya tidak boleh melepaskan diri dari perkembangan dunia di mana mereka berpijak. Ada tanggung jawab sosial yang tidak boleh dilewatkan begitu saja.

Leave a Comment