Apakah orang tua masih penting untuk didengarkan? Pertanyaan ini bisa sederhana melihat konsepnya, namun sangat rumit jika memahami konteksnya. Kalau bukan sama orang tua, menanyakan pengalaman dan pengetahuan pada siapa lagi? Pepatah yang sering kita dengar, “kebijaksanaan dari orang tua, tapi tenaga dari orang muda”. Soal sudah lama hidup dan berkehidupan, menjadi alasan orang tua menjadi penting diminta berbagai kesaksian. Berbagai pengalaman, asam-garam, sangat penting untuk menjadi pelajaran bagi generasi yang sesudahnya. Sejumlah bidang kajian, menjadikan orang tua sebagai sumber informasi yang penting. Apalagi untuk hal-hal yang tidak pernah tercatat sebelumnya.
Saya ingin menegaskan ada perbedaan mazhab tertulis dan tercatat. Dalam hukum, ketika disebut tertulis, berada dalam ranah modern, yang masyarakatnya sudah dikategorikan sebagai rasional. Era modern lahir dari masyarakat modern, yang cenderung berpegang pada apa yang sudah dipositivisasikan. Di luar masyarakat modern, semua dianggap sebagai masyarakat tradisional –yang dalam proses ini, orang tua menjadi salah satu pihak yang penting.
Begitulah orang tua. Saat saya dan Dr. Muhammad Adli Abdullah mendapat kesempatan ke Pulau Aceh, salah seorang penting yang kami kunjungi adalah mantan panglima laot di kawasan itu. Sesungguhnya dalam realitas kultur adat, hampir tidak ditemui adanya panggilan mantan untuk orang-orang yang pernah memimpin lembaga adat. Semua orang yang pernah memegang amanah itu, akan tetap dipanggil sebagai panglima.
Aceh memang agak unik. Sebutan panglima bisa jadi masalah di waktu tertentu, dan bisa dipahami. Saat konflik, misalnya, panglima tidak mungkin disebut dengan gamblang. Di luar kepemimpinan adat di dunia pesisir, saat itu untuk mereka yang melawan pemerintah juga disebut sebagai panglima. Apalagi dalam dunia tentara, juga dikenal sebutan panglima secara khusus.
Dari orang tua kita bisa mendengar bagaimana mereka mengatur dirinya, saat dunia belum dibutuhkan pengaturan tertulis. Dari mereka pula, kita bisa mendengar bagaimana cara menyelesaikan sengketa-sengketa yang muncul dalam masyarakat. Sengketa berpotensi selalu muncul dalam ruang sosial. Ada yang bisa diselesaikan secara sederhana, tapi ada juga yang butuh proses yang rumit.
Semua masyarakat memiliki cara menyelesaikan sengketa yang timbul dalam kehidupan mereka. Nah, salah satu pihak tempat bertanya bagaimana sengketa terjadi dan diselesaikan, adalah melalui orang-orang tua yang pernah mengalaminya. Maka bila kita lihat kajian-kajian tentang penyelesaian sengketa, berbagai cara penyelesaian masalah ditemui dalam berbagai ruang sosial. Tergantung pada lapisan-lapisan masyarakatnya. Umumnya, sengketa-sengketa yang terjadi diselesaikan secara musyawarah dan mufakat melalui lembaga-lembaga adat seperti peradilan adat, sudah lama dikenal dalam masyarakat kita. Dalam peradilan seperti itu, biasanya yang menjadi hakim adalah tokoh-tokoh adat atau tokoh-tokoh dalam masyarakat hukum adat.
Mengenai kewenangan yang dimiliki, umumnya tidak terbatas pada perdamaian saja, namun juga kekuasaan untuk memutuskan sengketa dalam semua bidang hukum. Hilman Hadikusuma (1992), seorang ahli hukum, menyebut bahwa dalam konteks ini, hukum tidak terbagi ke dalam pengertian pidana, perdata, publik, dan lain-lain. Seorang ahli hukum adat yang penting di Indonesia, Moh. Koesnoe (1974), mengingatkan kita akan hal ini. Katanya, proses penyelesaian sengketa dilakukan berdasarkan tiga asas kerja untuk menghadapi perkara-perkara adat, yaitu asas rukun, patut dan keselarasan.