Word Summit on Sustainable Development atau KTT Bumi dilaksanakan di Johannesburg, Afrika Selatan, pada tanggal 26 Agustus hingga 4 September 2002. Pertemuan ini dihadiri oleh delegasi dari 191 negara dan 109 kepada negara. Termasuk Presiden Republik Indonesia, Megawati, hadir pada waktu itu.
Dalam bukunya Emil Salim, Ratusan Bangsa Merusak Satu Bumi, turut menjelaskan apa pentingnya Presiden Megawati hadir dalam pertemuan tersebut. Ada sejumlah catatan Emil Salim terkait pertemuan tersebut (Salim, 2010). Pertama, pertemuan Johannesburg memusatkan diri pada pola pembangunan berkelanjutan (sustainable development) untuk menggantikan pembangunan konvensional. Jika dihitung pada 2002, sudah sampai 50 tahun pembangunan konvensional yang nyatanya hanya berhasil meningkatkan 20 persen dari jumlah penduduk bumi. Sedangkan 80 persen jumlah penduduk yang tersebar di negara berkembang berkubang dalam kemiskinan.
Ada satu hal dikritisi terkait konsep pembangunan yang menekankan pada ekonomi semata disertai kemerosotan lingkungan hidup global, tercermin pada menciutnya hutan, erosi tanah, mencermarnya lautan, dan polusi udara. Masalah lingkungan sudah mengacaukan iklim bumi, dan menaikkan permukaan laut yang menenggelamkan pulau-pulau, termasuk pulau-pulau di Indonesia.
Kedua, pola pembangunan konvensional yang disepakati untuk dirombak menjadi pembangunan berkelanjutan dengan mengintegrasikan unsur ekonomi, sosial, dan lingkungan. Interaksi ketiga unsur ini secara sadar diperhitungkan dalam perencanaan, kebijakan, dan proses pembangunan. Kesadaran integrasi ini, dalam konteks pembangunan sosial ditujukan untuk memberantas kemiskinan struktural (ketiadaan akses pendapatan, masalah lapangan kerja, air minum, jasa energi, permukiman, fasilitas Kesehatan, pendidikan, dan lain-lain). Sisi pembangunan ekonomi harus mengubah pola produksi dan pola konsumsi yang tidak menopang pembangunan berkelanjutan, terutama penggunaan energi yang tidak efisien dan mencemarkan, penggunaan SDA secara boros, konsumsi yang perlu diarahkan untuk daur ulang bahan kemasan. Sedangkan sisi lingkungan, penyelamatan dan perlindungan ekosistem diarahkan agar mampu dalam menopang proses pembangunan berkelanjutan.
Ketiga, catatan pertemuan Johannesburg yang ingin melanjutkan semangat Bali yang menekankan rencana aksi. Apalagi setelah pertemuan para kepala pemerintahan di Rio de Janeiro tahun 1992, telah berlangsung sejumlah pertemuan tingkat tinggi yang membahas masalah perdagangan di Doha (Qatar), masalah keuangan di Monterey (Meksiko), masalah pangan di Roma (Italia), masalah anak-anak di New York (AS). Pertemuan Johannesburg dibayangkan sebagai penutup dari rangkaian pertemuan-pertemuan yang dilaksanakan selama 10 tahun pasca Rio.
Presiden Megawati sendiri turut mendapat kesempatan berbicara pada waktu itu, dengan menegaskan pentingnya kesepakatan politik bagi pembangunan berkelanjutan. Dan sebagaimana tujuan pertemuan ini, untuk mengevaluasi pelaksanaan Agenda 21 dari hasil dari KTT Rio, pertemuan ini juga strategis dalam menyusun kepentingan pembangunan sesudahnya.
Ada tiga dokumen penting yang dihasilkan dari KTT Johannesburg, yakni: pertama, Johannesburg Declaration for Sustainable Development, yang dasarnya semacam deklarasi politik sekaligus kesepakatan para pemimpin negara dan pemerintahan terkait kesiapan bertanggung jawab dalam pembangunan berkelanjutan. Kedua, Johannesburg Plan of Implementation untuk menyukseskan Agenda 21 setelah 2002 hingga 10 tahun sesudahnya. Ketiga, Partnership Document, berisi Kerjasama para pemangku kepentingan internasional untuk mempercepat pelaksanaan pembangunan berkelanjutan.
Pasca Johannesburg sendiri, kenyataannya tidak lantas semua masalah selesai dan tuntas. Kerusakan lingkungan tidak berhenti dan untuk kondisi perubahan iklim, malah semakin nyata dan menjadi-jadi. Gagasan membahas kondisi ini dilakukan, termasuk dalam Pertemuan Bali Tahun 2007. Kondisi ini menggambarkan bahwa setiap konsensus tentang lingkungan harus terus-menerus dievaluasi dalam rangka mendapatkan pemahaman bagi pembangunannya pada masa depan.
Wallahu A’lamu Bish-Shawaab.