Demi Sepohon Pembangunan

Saat ada pemberitahuan untuk tidak memarkirkan kendaraan di depan dan di belakang kampus, karena mau ditebang sejumlah pohon, saya langsung membuat status: butuh sepuluh menit saja untuk menebang sebatang pohon, namun belum tentu dalam sepuluh …

Saat ada pemberitahuan untuk tidak memarkirkan kendaraan di depan dan di belakang kampus, karena mau ditebang sejumlah pohon, saya langsung membuat status: butuh sepuluh menit saja untuk menebang sebatang pohon, namun belum tentu dalam sepuluh tahun aka nada penggantinya. Jika saya pengambil kebijakan, bukan memotong pohon saya ambil sebagai solusi. Soal ada masalah dengan arus listrik, atau menyebabkan banyak daun di atas atap, idealnya dengan mudah ditangani secara periodik. Bukankah tidak perlu pembersihan setiap hari untuk semua ceceran daunnya itu?

Seyogianya dilakukan hanya merapikan saja. Saya menyayangkan ada solusi pendek yang berpikir hanya dengan memotong pohon. Seolah tidak ada jalan lain. Saat banyak kampus sedang berlomba-lomba untuk pindah ke lahan yang penuh pohon, di sini, di tempat kami, justru pohon yang ada ditebang. Saya merasakan selalu ada kondisi yang berbeda ketika berada di bawah pohon-pohon. Tampak lebih adem sedikit. Walau sedang panas menyengat, namun selalu berbeda rasanya berada di bawah pohon.

Saya mengunjungi sejumlah daerah yang unik. Demi sebatang pohon, mereka akan membeli lahan di sebelahnya. Lalu jalan dibuat dua arah. Ingat: hanya demi sebatang pohon. Saat berulang kali lewat di tepi krueng Aceh yang tembus ke Lambaro, betapa mudah pohon itu ditebang. Barangkali untuk alasan pembangunan. Pohon yang sudah besar da nada sedikit terasa perbedaan suhu saat berada di bawahnya. Tapi kini hanya tiang listrik beton yang tersisa. Saya tidak mengerti, itu semua pohon siapa. Sepanjang jalan itu sepertinya ingin dijadikan lokasi even olah raga. Maklum kan, demi sebuah pembangunan dan katanya untuk menyehatkan, tapi mengorbankan pohon?

Ketika saya masih berusaha menyelesaikan kuliah, jalan dari kota ke Ulee Lheue sedang dibangun, sepanjang jalan juga pemerintah lebih memilih memotong pohon tinimbang membeli lahan di sebelahnya dan membuat jalan dua jalur –seperti dalam satu perjalanan saya menyaksikan keadaan semacam ini. Padahal saya tahu, pohon asam itu peninggalan era sebelum merdeka. Sejumlah ruas jalan yang juga sering saya lalui, terutama jalan-jalan di kampung-kampung yang sudah lama, tipikal posisi pohon menandakan ia sudah lama dan sengaja ditanam dengan baik dan tertata. Barangkali saya perlu belajar siapa yang dulu bisa fasih menanam pohon secara teratur dan baik. Tapi generasi kemudian, lebih memilih memotongnya demi menjaga yang akan membahagiakan banyak orang.

Saya ingat saat itu, sejumlah aktivis menggugat wali kota karena pembangunan jalan yang menghabiskan pohon. Sebuah kebijakan yang tidak popular dan cenderung asal-asalan. Bertahun-tahun membutuhkan waktu untuk membesarkan sebatang pohon, justru demi alasan pembangunan, pohon-pohon yang ada malah ditebang. Pada kondisi begitu, saya sering tidak mengerti dimana para ahli yang menyumbang pikiran bagi pengambil kebijakan untuk tidak mengorbankan sebesar itu.

Pembangunan kadangkala sering tidak dimengerti. Selama ini, saya melihat ruas jalan yang sudah baik, tiba-tiba sudah dikerok untuk tujuan lain. Pemasangan pipa, penggalian entah untuk jaringan apa, berulangkali dilakukan dan terkesan memang tidak ada koordinasi. Bagaimana bisa pembangunan yang satu dengan mengorbankan pembangunan yang lain semacam itu terus terjadi di sekitar kita. Belum lagi soal bekas lubang yang sering tidak ditutup dengan baik. Betapa kita bermain-main dengan nyawa manusia yang menggunakan kendaraannya. Mereka sudah membayar pajak dan seharusnya mendapat kompensasi yang sepadan dengan kualitas yang jalan yang paripurna.

Wallahu A’lamu Bish-Shawaab.

[es-te, Senin, 12 September 2022]

Leave a Comment