Di ujung artikel Ikrar Nusa Bhakti, “Negara Adalah Saya”, mengutip Olle Tornquist dengan menyebut ‘demokrasi kaum penjahat’ untuk menggambarkan betapa akhir periode Presiden Jokowi kita seperti kembali ke arah otorianisme (Bhakti, 2023). Artikel ini menyorot sejumlah hal yang dilakukan periode lalu. Ia menulis bahwa Presiden Joko Widodo bukan penguasa absolut seperti Raja Louis XIV. Indonesia juga bukan negara kerajaan, melainkan negara kesatuan yang berbentuk republik. Namun menjelang setahun berakhir pemerintahannya, kini ia sedang menikmati kekuasaannya yang berlebih. Ibarat raja Jawa masa lalu, kekuasaannya bulat dan tidak terbagi-bagi. Tidak ada matahari kembar. Tidak ada yang berani menentang dan mengkritiknya, kecuali kelompok masyarakat akademis, masyarakat kewargaan, para netizen, dan influencer yang dulu ialah para pendukungnya (Bhakti, 2023).
Sejumlah tulisan memperlihatkan pola kekuasaan yang berubah. Di periode kedua presiden yang lalu, dengan berbagai kepentingan yang ada di keluarga dan selingkarnya. Dalam negara yang sudah dibatasi dan diatur dengan ketat, namun memungkinkan terjadi banyak hal, konon pada negara-negara yang longgar dan apriori terhadap pembatasan dalam kekuasaan. Alasan inilah pentingnya kekuasaan itu memiliki akuntabilitas yang ketat.
Dari sekian penjelasan, perkiraan Tornquist sangat menarik. Demokrasi kaum penjahat sudah diungkapkan Tornquist tahun 1998. Dulu Tornquist, barangkali asing bagi publik republik. Namun dalam dua dekade terakhir, nama ini menjadi kerap terdengar dan terbaca. Sebagai peneli yang intens dan serius melihat perkembangan politik di Indonesia.
Pada tahun 1998, Ohio State University menyelenggarakan satu seminar internasional, bertema Crafting Indonesian Democracy, yang di dalamnya Tornquist sebagai salah satu pematerinya. Kumpulan Crafting Indonesian Democracy inilah, kemudian diterjemahkan dan diterbitkan oleh Mizan (Bandung), dalam satu buku dengan judul yang sama, Crafting Indonesian Democracy. Buku ini disunting oleh R. William Liddle (2001). Dalam buku ini, kondisi Indonesia diingatkan berhadapan dengan kondisi dimana pihak-pihak yang disebut “kaum penjahat” dalam demokrasi akan mendapat tempat kembali jika kekuasaan tidak dikelola dengan baik (Liddle, 2001).
Apa yang diingatkan Tornquist? Jangan sampai Indonesia pascaorba, dengan era yang baru, kembali dan berubah dalam kubang demokrasi kaum penjahat. Kaum ini, secara historis, terjadi karena abad pertengahan sampai abad modern, para elite politik memiliki posisi yang lebih tinggi dari rakyat. Kaum elite, beranjak dari konsep the elite dari Pareto atau the rulling class dari Mosca, sama-sama ingin meneguhkan bahwa elite politik atau kelas penguasa memiliki kekuasaan berlebih dibandingkan kekuasaan rakyat (Puspitasari, 2024).
LIPI dan The Ford Foundation juga melaksanakan diskusi penting tentang “Toward Structural Reforms on Democratization in Indonesia: Problems and Prospects”, di Jakarta tanggal 11-14 Agustus 1998. Waktu itu sudah diingatkan akan datangnya bahaya “kaum penjahat” dalam perubahan politik yang sedang terjadi di Indonesia. Tornquist menyebut negara-negara yang baru memulai transisi demokrasi dari otoritarianisme seperti Indonesia, akan menghadapi tantangan tersebut (Nurhasim, 2017).
Jalan panjang perjalanan dan perkembangan republik, tentu saja bukan hal yang sederhana. Apa yang terjadi pada era orde baru, pada dasarnya bukan terjadi dengan sendirinya. Pergantian dari orde lama, karena ada secercah harapan yang ingin dikejar untuk perbaikan kekuasaan. Sayangnya, kondisi berbalik dan bergulung pada kondisi yang tidak menguntungkan. Era inilah yang kemudian terjadi perulangan, ketika kekuasaan digunakan untuk berbagai hal dan jalan yang tidak pada tempatnya.
Wallahu A’lamu Bish-Shawaab.