Penyerangan terhadap apa yang disebut sebagai kehormatan atau harkat dan martabat, terutama mereka yang sedang menjalankan kekuasaan, dianggap berpotensi disalahgunakan. Apalagi dengan pengaturan yang tidak ada batasan yang jelas. Dalam pasal-pasal sendiri, dikecualikan terkait dengan kepentingan umum.
Terhadap kondisi itulah, pengaturan yang tidak jelas batasnya akan dipertanyakan. Di kampus hukum, kondisi semacam ini disebut sebagao pasal karet, yang ketika masa kolonial dioperasionalkan yang namanya haatzaai artikelen –secara bebas diterjemahkan sebagai ujaran kebencian. Pasal karet disebut untuk sebuah pengaturan (apakah dalam pasal atau ayat dari suatu undang-undang tertentu) yang tidak memiliki alat ukur yang jelas, terutama pada teksnya.
Terkait dengan penyerangan kehormatan atau harkat dan martabat, kerap diarahkan ke konteks pencemaran nama baik. Tidak ada batasan yang jelas untuk membedakan kehormatan di satu sisi, dan pencemaran nama baik di sisi lain. Atau dalam konteks yang lain, jika menggunakan media teknologi informasi, akan digolongan sebagai kejahatan ITE.
Sejumlah kasus korupsi, kerap dijadikan alasan pencemaran nama baik untuk mereka yang melaporkan atau menyerahkan data tertentu kepada penegak hukum korupsi. Padahal korup itu tidak selalu memungkinkan dilakukan semua orang. Hanya orang tertentu saja yang berkesempatan untuk melakukan kejahatan ini. Mereka yang sedang memegang kekuasaan tertentu, sebagai salah satunya. Maka saat ada orang yang menggunakan data tertentu, yang bisa dianggap sebagai ruang korup, dijadikan alasan sebagai merendahkan posisi dan nama baiknya.
Pengaturan semacam ini, sesungguhnya bukan muncul sekarang. Keberadaan pasal-pasal karet semacam ini, sudah muncul sejak era kolonial, di Hindia Belanda. Pada waktu itu, semua orang di bawah kekuasaan kolonial, baik orang Eropa, maupun pribumi dan timur asing, dilarang mencemooh Ratu Belanda. Pasal ini pula dalam KUHP lama, dilanjutkan –sebagian bagian dari melanjutkan pengaturan Wetboek van Strafrecht ke hukum pidana Indonesia. Hukum pidana ini ditetapkan dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana (Berita Negara Republik Indonesia II Nomor 9).
Masalahnya adalah ketika KUHP baru disahkan, pasal-pasal karet semacam ini masih dipertahankan. Hal ini sepertinya mengingkari dua hal. Pertama, terkait dengan usage untuk mewujudkan pembangunan hukum nasional, yang ternyata belum dapat meninggalkan sepenuhnya apa yang menjadi semangat kekuasaan kolonial. Kedua, tekad dekolonialisasi dengan bentuk rekodifikasi yang ternyata tidak sepenuhnya bisa berlangsung dengan baik –apalagi dengan misi demokratisasi hukum pidana yang disebutkan dengan jelas sebagai misi dari KUHP baru ini.
Pada tahun 2006, seorang anak bangsa yang berprofesi sebagai dokter, R. Panji Utomo mengajukan judicial review terhadap sejumlah pasal yang bisa digolongkan sebagai pasal karet dalam KUHP lama. Panji Utomo bertindak sebagai Direktur Forum Komunikasi Antar Barak yang ada di Aceh setelah tsunami. Ada dua pasal yang diajukan, yakni Pasal 154 dan Pasak 155 KUHP. Dalam Pasal 154 KUHP disebutkan “Barangsiapa di muka umum menyatakan perasaan permusuhan, kebencian atau merendahkan terhadap Pemerintah Indonesia, diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah”. Sedangkan Pasal 155 KUHP berbunyi: (1) “Barangsiapa menyiarkan, mempertunjukkan atau menempelkan tulisan atau lukisan dimuka umum yang mengandung pernyataan perasaan permusuhan, kebencian atau merendahkan terhadap Pemerintah Indonesia, dengan maksud supaya isinya diketahui oleh umum, diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun enam bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah”. (2) “Jika yang bersalah melakukan kejahatan tersebut pada waktu menjalankan pencaharian dan pada saat itu belum lewat lima tahun sejak pemidanaannya menjadi tetap karena melakukan kejahatan semacam itu juga, yang bersangkutan dapat dilarang menjalankan pencaharian tersebut”.
Kedua pasal tersebut, pada tanggal 16 Juli 2007 diputuskan bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan menyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, oleh tim hakim yang dipimpin Jimly Asshiddiqie sebagai ketua merangkap, dan para anggota: Harjono, I. Dewa Gede Palguna, H.A.S. Natabaya, H.M. Laica Marzuki, Soedarsono, H. Abdul Mukthie Fadjar, H. Achmad Roestandi, dan Maruarar Siahaan.
(Sumber: Karikatur jppn.com)