Dualisme Hukum

Tetap saja ada debat ketika hukum barat dipilih sebagai tradisi hukum kita. Sejumlah perkembangan, setidaknya hingga awal kemerdekaan, permintaan akan berlakunya hukum adat tetap muncul. Hal ini menandakan bahwa ada sejumlah pihak yang merasakan pentingnya …

Tetap saja ada debat ketika hukum barat dipilih sebagai tradisi hukum kita. Sejumlah perkembangan, setidaknya hingga awal kemerdekaan, permintaan akan berlakunya hukum adat tetap muncul. Hal ini menandakan bahwa ada sejumlah pihak yang merasakan pentingnya hukum dengan ciri khas Indonesia.

Ada satu catatan yang diuraikan Khudzaifah Dimyati, yang menyebutkan bahwa tipologi pemikiran hukum pascakemerdekaan Indonesia (tahun 1945-1960) menunjukkan suatu model pemikiran yang mengutamakan komitmen pada hukum adat. Namun demikian, dalam perkembangannya tarik-menarik terjadi, sehingga pada akhirnya disimpulkan hukum adat yang dimaksud dinilai sebagai rujukan dalam penyusunan hukum nasional yang modern (Dimyati, 2005).

Dalam pemikiran hukum, tipologi formalistik muncul setelah Indonesia merdeka. Formalistik yang dimaksudkan di sini adalah suatu karakteristik pemikiran yang mengutamakan peneguhan pada asas-asas yang ketat pada format-format postulat hukum. Tuntutan demikian antara lain disebabkan kebutuhan hukum di satu pihak, dan perkembangan masyarakat yang menyebabkan perkembangan hukum di pihak lainnya.

Suasana dualisme hukum, sesungguhnya pernah muncul dalam era Hindia Belanda. Pada waktu itu, Berlaku dua hukum secara berdampingan antara hukum adat dan hukum Barat. Suasana semacam ini pun menimbulkan perbedaan pendapat di kalangan peneliti hukum kemudian. Sejumlah pihak menyebut bahwa dualisme hukum ini menandakan betapa kolonialis juga sangat memberi kesempatan pada keberlakukan hukum bercorak Hindia Belanda. Namun sejumlah pihak menyebyt bahwa dualisme hukum ini pada dasarnya hanya semacam kamuflase yang akan memudahkan kolonial dalam proyek unifikasi hukumnya.

Wujud hukum Barat, oleh Entol Zaenal Muttaqin & Ahmad Zaini disebutkan sebagai karakteristik model hukum Eropa Kontinental, terutama sejak kerajaan Belanda mengambil alih kekuasaan Hindia Belanda dari tangan Vereenigde Oostindische Comapgnie (VOC) pada paruh waktu abad ke-18. Pada waktu itu, Pemerintah kolonial Belanda secara bertahap menerapkan sistem hukum secara sistematis sebagai bagian dari daerah kekuasaannya. Dengan demikian politik hukumnya sebagai arah kebijakan hukum kolonial, sesungguhnya sudah berlangsung (Muttaqin & Zaini, 2021).

Selain itu, upaya penerapan sistem hukum di Hindia Belanda sudah pernah dilakukan VOC, dengan mencoba mengklasifikasikan hukum sesuai dengan karakteristik hukum adat, yang terbagi ke dalam empat kategori, yakni: Compendium Mogharrer (kodifikasi hukum pidana Jawa), Compendium Clootwijk (hukum adat di Bone dan Goa), Compendium Freijer (kodifikasi hukum Islam dalam perkawinan dan talak), dan Pepakem Cirebon (hukum adat Cirebon). Usaha pengklasifikasian hukum berlanjut pada era kolonial dengan kodifikasi serupa. Ketika perubahan konstitusi di Belanda tahun 1848, kebijakan politik hukum di Hindia Belanda juga berubah. Salah satunya adalah kebijakan terkait arah politik hukum Islam sebagai hukum yang dianut sebagian pribumi di Hindia Belanda (Muttaqin & Zaini, 2021).

Perkembangan tersebut pada dasarnya sebagaimana dijelaskan Khudzaifah Dimyati, terkait bagaimana pada titik tertentu, bahkan menjelang Indonesia merdeka, kondisi tersebut masih berlangsung dengan baik. Sekali lagi, terlepas dengan dua cara pandang dari dua pihak para sarjana hukum –apakah dualisme ini benar-benar sebagai cermin bahwa kolonial yang humanis dalam menerapkan hukumnya di Hindia Belanda, ataukah ia hanya kamuflase saja dari proyek hukum kolonial yang tak pernah selesai.

Pihak yang merasa bahwa dualisme tersebut sebagai upaya Belanda untuk menghargai hukum Hindia Belanda, terlaksana dengan jalan penundukkan diri secara sukarela (vrijwillige onderwepping) dan kebijakan hukum memaksa (toepasselijk verklaring) –justru hal ini dianggap sebagai kebijakan yang membuat perlahan-lahan hukum adat di Hindia Belanda akan hilang (Muttaqin & Zaini, 2021). Kondisi ini, oleh para sarjana hukum yang menganggap kamuflase, sebagai jalan lumpang Hindia Belanda dalam proses pencapaian tujuannya.

Leave a Comment