Ekonomi vs Ekologi

Merujuk pada berbagai dampak yang timbul sekaligus dirasakan negara-negara, lahirnya satu Protokol Kyoto pada dasarnya tidaklah berlebihan. Walau pada akhirnya setelah COP6 Amerika Serikat menyatakan mundur dari protokol ini karena merasakan ketidakadilan. Protokol ini dinegosiasikan …

Merujuk pada berbagai dampak yang timbul sekaligus dirasakan negara-negara, lahirnya satu Protokol Kyoto pada dasarnya tidaklah berlebihan. Walau pada akhirnya setelah COP6 Amerika Serikat menyatakan mundur dari protokol ini karena merasakan ketidakadilan.

Protokol ini dinegosiasikan di Kyoto (Jepang) pada akhir 1997. Penandatangan dibuka pada 16 Maret 1998 dan diakhiri pada 15 Maret 1999. Persetujuan mulai berlaku pada tanggal 16 Februaru 2005, setelah ratifikasi resmi dilakukan Negara Rusia pada tanggal 18 November 2004. Pada saat pemberlaku persetujuan, protokol telah diratifikasi oleh 141 negara.

Mengapa Rusia? Dalam salah satu klausul disebutkan, protokol mulai berlaku pada hari ke-90 setelah tanggal saat mana tidak kurang dari 55 pihak konvensi, termasuk pihak-pihak dalam Annex I yang bertanggung jawab kepada setidaknya 55 persen dari seluruh emisi karbon dioksida pada 1990 dan pihak-pihak dalam Annex I yang telah ratifikasi, penerimaan, dan persetujuan. Capaian 55 Pihak tercapai tanggal 23 Mei 2002 ketika Negara Islandia meratifikasi. Sementara 55 persen tercapai ketika tanggal 18 November 2004 diratifikasi Rusia. Dengan jangka 90 hari, maka berlaku pada 16 Februari 2005.

Dalam Buku Sepuluh Tahun Perjalanan Negosiasi Konvensi Perubahan Ikilim yang ditulis Daniel Murdiyarso, Prof. Emil Salim memberi pengantar dengan judul “Jika Iklim Berubah”. Menurutnya, sejak dilangsungkannya revolusi industry, lingkungan global menderita pencemaran udara yang berdampak besar pada perubahan iklim global. Negara-negara bukan hanya suhu yang tidak nyaman, melainkan bencana banjir besar sebagai dampak dari perubahan iklim. Maka tampak bahwa dampak perubahan iklim itu, menurut Emil Salim, memukul negara berkembang lebih besar ketimbang negara maju. Biaya yang dipikul menumpuk, mulai biaya finansial, banjir, tenggelamnya pulau, kerusakan lingkungan, hingga derita manusia.

Apa yang dilakukan Indonesia secara aktif, bagi Emil Salim dapat dilihat sebagai langkah mitigasi, tidak hanya bagi Indonesia, melainkan juga bagi global. Dengan tidak lupa menitipkan pola pembangunan yang harus berubah, dari pembangunan konvensional menuju pola-pola pembangunan berkelanjutan dengan menempatkan lingkungan sebagai kebijaksanaan dalam pembangunan.

Seperti disebutkan A. Sonny Keraf yang memberikan pengantar untuk buku Protokol Kyoto, Implikasinya bagi Negara Berkembang, bahwa Protokol Kyoto dengan seluruh perjalanan negosiasi yang panjang dan melelahkan menjadi sebuah pelajaran berharga betapa kepentingan ekonomi jangka panjang selalu begitu saja dengan mudah mengalahkan kepentingan lingkungan, kepentingan keselamatan, dan eksistensi manusia, dan makhluk hidup di bumi ini, baik jangka pendek maupun jangka panjang.

Dalam pengantarnya, A. Sonny Keraf menyadari seperti juga yang dipahami pembaca melalui buku ini, betapa egoisnya negara-negara maju yang selalu ingin menang sendiri demi menyelamatkan kepentingan ekonominya, tidak peduli berbahayanya kepentingan ekonomi dan politik mereka terhadap kepentingan ekologis negara-negara berkembang dan dunia pada umumnya.

Wallahu A’lamu Bish-Shawaab.

Leave a Comment