Bencana selalu menimbulkan empati dan simpati. Dengan berbagai wujudnya. Walau dalam bencana perang sekali pun, akan muncul empati dan simpati dalam berbagai wajah. Bahkan rasa itu, bisa saja berlawanan dengan mereka yang sedang berada dalam komponen mengelola negara. Saya membayang bagaimana ada negara yang tidak peduli pada kondisi Palestina yang disuarakan oleh mereka yang berada di negara-negara yang kebijakan negara secara total berpihak dan membela Israel. Dalam kondisi seperti bencana alam, rasa itu muncul dan bisa saja berlawanan dengan suara para pengelola negaranya. Salah satu contoh, setelah beberapa tahun tsunami, ketika ada negara yang menggugat bantuan yang diberikan gara-gara ada kebijakan Indonesia yang tidak sejalan dengan harapan mereka. Indonesia pernah menghukum mati gerbong narkoba yang merupakan warga Australia, yang oleh pengelola negara menganggap hal tersebut sebagai bukan balas budi bantuan mereka terhadap bencana.
Pengalaman dalam empati dan simpati tsunami Aceh, berbagai lini bergerak. Tidak hanya aktor negara, melainkan juga aktor-aktor nonnegara. Dan para penyumbang itu memang harus direkam, walau para pemberi sumbangan tidak selalu ada pamrih.
Saya memiliki sejumlah catatan media pada awal pemberi bantuan yang dikirimkan ke Aceh. Ada banyak negara dengan berbagai kepentingannya, mengirimkan bantuan. Nilainya juga tidak main-main. Semuanya berdasarkan empati dan simpati yang disebutkan.
Tempo pernah mencatat bantuan-bantuan dan komitmen negara-negara yang datang bergelombang-gelombang tersebut (Tempo, 2005). Bantuan ini sendiri pada bulan pertama tanggap darurat tsunami, ada yang sudah direalisasi, ada juga yang masih dalam bentuk komitmen. Dalam perkembangannya, kondisi bantuan juga terus berkembang seiring dengan keadaan di Aceh dan berbagai kebijakannya dalam rehabilitasi dan rekonstruksi bencana.