Saya ingat, saat malam pulang dari rumah teungku, beberapa kali melihat orang dewasa menonton televisi hitam-putih. Maksudnya TV yang belum berwarna. Gambarnya masih tampil warna hitam dan putih saja. Apalagi saat ada acara tinju, yang menonton pasti banyak. Tumpah hingga ke halaman rumah. Dengan ukuran TV yang kecil, gambar yang tidak begitu jelas, orang-orang menontonnya dengan baik.
TV hanya ada di rumah pak mukim Ismail. Bahkan TV itu tidak selalu dihidupkan. Saat-saat tertentu saja, misalnya saat main tinju Ellyas Pical. Antena TV ini disangkut pada sebatang pohon bambo yang dicari khusus. Dengan tinggi di atas rata-rata dan tidak terlalu berat. Saya ingat, tiang antena ini ditempel di pinggir barat rumahnya. Di sana bersisian dengan penyangga tampung rumah. Jadi ujung bambu itu diikat di tampung rumah agar ia tidak bergeser kemana-mana.
Dengan begitu saja, masih harus dijaga. Saat pulang dari pengajian, saya menyaksikan jika ada tinju, ada seseorang yang khusus menjaga tiang antena agar tidak bergeser-geser. Karena jika tidak pas, tampilan tayangan akan kacau dan buram. TV berukuran layar 14 inci ini, wajahnya selalu begitu. Ukuran keseluruhan TV sesungguhnya tidak 14 inci. Melainkan sampai seukuran meja kecil. TV lama dengan sekarang sangat berbeda. Dulu mesin TV sangat besar.
Jika saya sebut Ellyas Pical, para dewasa pasti ingat era itu. Petinju Indonesia ini sebagai yang pertama ikut dalam kompetisi tinju profesional dan pernah memenangnya pertandingan. Setidaknya, ia memenangkan 20 pertandingan, dimana 11 di antaranya ia menangkan dengan KO –isitlah KO kepanjangan dari knockout. Seseorang disebut menang KO jika berhasil menjatuhkan lawan dan tidak bisa berdiri tegak untuk merespons wasit yang menghitung hingga angka 10.
Ellyas Pical lahir 24 Maret 1960. Era jayanya pada 1980-an. Bahkan menurut catatan google, ia mulai kalah pada 1989. Petinju penting yang pernah mengharumkan olah raga tinju Indonesia. Bukan hanya menang di Indonesia, Pical juga memenangkan pertandingan di sejumlah negara. Dengan prestasinya itu, ia pernah mendapat masalah saat tahun 2005 tersandung kasus narkoba. Setelah selesai masa hukuman, kemudian ia digunakan para pengurus organisasi olah raga.
Saat itulah, TV yang sering ditonton orang dewasa kampung saya, berisi tayangan tinju itu. TV yang waktu itu hanya dimiliki pak Mukim Ismail. Hanya orang dewasa yang boleh nonton. Anak-anak tidak boleh mendekat ke sana. Jangankan anak-anak, para remaja tanggung pun tidak boleh berada di sekitar rumah pak Mukim saat TV sedang hidup. Berbeda dengan sekarang, anak-anak malah oleh orang tuanya disumpal dengan alat-alat yang menyediakan yang sesungguhnya tidak layak ditonton oleh para anak.
Wallahu A’lamu Bish-Shawaab.