Saya belum memahami secara sempurna mengapa ikut serta dalam gotong royong di kampung-kampung begitu penting. Secara sederhana, yang saya pahami, gotong royong ingin memudahkan semua aktivitas, dalam rangka menyelesaikan persoalan bersama. Pekerjaan besar yang membutuhkan tenaga besar, akan terasa ringan ketika dilakukan secara bersama-sama. Di samping itu, sebuah hajatan besar yang ingin dilaksanakan, akan terasa ringan ketika semua orang dalam kawasan itu turut serta saling membantu. Kita bisa membayangkan bagaimana makan bersama yang membutuhkan modal besar, bisa dilaksanakan dengan keterlibatan semua orang, menurut porsi masing-masing.
Saya teringat suatu aktivitas alumni di kampus juga memakai pola demikian. Hajatan pertemuan alumni, dilakukan dengan makan bersama, namun dengan mengandalkan uang sumbangan bersama. Masing-masing membantu menurut kadar keikhlasan sekaligus kepentingan. Ada orang yang berkemampuan berlebih, menyumbang tidak besar karena berpikir tidak ada keuntungan lebih yang didapat. Selain itu ada orang yang memang menyumbang besar, karena merasa ada sesuatu yang bisa dipetik. Termasuk dalam kadar ini adalah orang yang dengan keikhlasan membantu kegiatan ini.
Dari jauh saya mengikuti kegiatan demikian, dalam sekejap bisa terkumpul sejumlah kebutuhan. Bukan hanya uang, melainkan juga berbagai kebutuhan yang akan dimakan dalam pertemuan. Sesuatu yang menurut saya sangat sederhana dalam pemenuhan kebutuhannya. Kegiatan besar semacam itu, tidak terbayangkan ketika harus ditanggung oleh seeorang atau sejumlah orang saja. Bukan tidak boleh atau tidak mampu, melainkan pada kebersamaan yang akan terwujud. Persis seperti membuat hajatan di rumah, semacam walimah atau aqiqah. Dalam tradisi masyarakat kita sekalipun, hajatan yang saya sebut terakhir itu juga tidak lepas dari kontribusi keluarga besar. Menurut kemampuan, saling meringankan kebutuhan saudaranya. Begitu seterusnya, nanti ketika ada yang lain berhajat, semua akan berkontribusi menurut kemampuan.
Pemahaman saya yang demikian sederhana, ternyata masih sangat ringan ketika mendengar ungkapan dan petuah orang tua. Menurutnya, gotong royong tak sebatas itu. Melalui gotong royong, banyak internalisasi berlangsung, pada saat yang sama, proses sosialisasi menguat. Ada istilah dalam satu kegiatan gotong royong, disebut ada yang kerja dan ada yang santai-santai saja, dianggap tidak masalah asal ikut serta di dalam aktivitas itu. Logika yang disebut terakhir ini, menyebabkan orang yang tinggal di suatu kampung, ia akan merasa malu sekali ketika tidak ikut serta dalam kebersamaan demikian.
Galibnya kebersamaan ini tidak bisa diganti dengan uang. Seseorang yang merasa harus beristirahat di rumah, lalu tinggal membayar uang sejumlah tertentu, atau mengantar kopi atau air mineral, tidak sebanding dengan kebersamaan yang seharusnya terbentuk. Masalahnya akhir-akhir ini, pola semacam ini banyak dilakukan orang-orang. Hal ini memungkinkan karena lunturnya banyak nilai dalam kehidupan kita. Bahkan gotong royong hampir meninggalkan kita.
Saya pulang kampung menjenguk bencana gempa yang terjadi, ironis sekali pola gotong royong ini justru mulai diinisiasi dari atas. Kementeriaan yang menyediakan satu regu bencana, atau polisi yang datang ke kampung-kampung dengan mengajak masyarakat untuk membersihkan rumah yang terkena bencana.
Apakah kondisi ini cenderung semakin menjadi cermin dari ukuran dunia yang semakin gemerlap, dengan menggunakan alat ukur yang semakin hari semakin sederhana? Entahlah. Sepertinya kita harus kembali melihat ke dalam masyarakat kita, yang sudah membuang jauh nilai-nilai kebersamaan. Kita tunggu suatu saat, ketika kekayaan itu, sudah tidak bisa didapatkan lagi walau dengan kekayaan melimpah sekalipun.
Wallahu A’lamu Bish-Shawaab.