Gugatan terhadap Tradisi Hukum

Saya sendiri masih berpikir tentang satu pertanyaan Daniel S. Lev yang mempertanyakan mengapa generasi pejuang hukum tidak memilih hukum kita yang khas. Sebenarnya ada pertanyaan Lev yang sangat menarik. “Mengapa perubahan mendasar tidak segera diperkenalkan, …

Saya sendiri masih berpikir tentang satu pertanyaan Daniel S. Lev yang mempertanyakan mengapa generasi pejuang hukum tidak memilih hukum kita yang khas. Sebenarnya ada pertanyaan Lev yang sangat menarik. “Mengapa perubahan mendasar tidak segera diperkenalkan, setidak-tidaknya dalam bentuk rancangan asas-asas pokok yang baru untuk dikembangkan rinciannya di kemudian hari?”

Dalam bukunya, ia menulis tentang ini dengan agak panjang. Menurut Daniel S. Lev, “pelestarian hukum lama bukanlah karena kekhilafan. Hal ini dinyatakan dengan tegas dalam UUD 1945 maupun kedua UUD lainnya tahun 1949 dan 1950, dengan akibat yang ganjil yakni hukum yang berlaku sering bertentangan dengan ketentuan UUD –misalnya, dalam hal-hal yang berkenaan dengan hak-hak asasi manusia. Barang tentu, orang dapat mengemukakan pendapat secara realistis bahwa UUD Indonesia yang efektif sama sekali bukan terdapat dalam UUD itu tetapi dalam tubuh hukum yang berupa undang-undang, asas-asas hukum, dan lembaga-lembaga yang diwaris langsung dari masa penjajahan. Mengapa perubahan mendasar tidak segera diperkenalkan, setidak-tidaknya dalam bentuk rancangan asas-asas pokok yang baru untuk dikembangkan rinciannya di kemudian hari?” (Lev, 2013).

Potongan sejarah lainnya yang dipaparkan Daniel S. Lev adalah soal usulan hukum yang khas Indonesia ditolak. Dalam panitia persiapan yang dibentuk pada masa pendudukan Jepang pernah diajukan usulan agar diadakan perubahan-perubahan mendasar pada asas-asas hukum, yang paling menonjol oleh seorang ahli hukum dari kalangan pergerakan nasional Muhammad Yamin, yang gagasan-gagasannya sama dengan gagasan para pendukung unifikasi hukum di masa kolonial yang silam. Pada kenyataannya, waktu itu, usulan yang ditolak sebagian besar berdasar pendapat seorang pakar hukum adat yang terkenal, Soepomo dalam pandangannya yang sangat konservatif sepenuhnya berpihak kepada sistem hukum kolonial yang berlaku bagi golongan Indonesia. bahwa Soepomo yang menang, dengan dukungan Soekarno, di antara lain-lain, dapat dipertalikan semata-mata dengan kecenderungan pilihan, terutama di antara para pemimpin politik Jawa di pedalaman yang revolusioner, terhadap anggapan yang menguasai sisi golongan Indonesia. Mereka belum sampai pada sesuatu yang baru yang dipahamkan setara dengan yang sudah ada, kecuali barang tentu perubahan yang mendasar kepemimpinan negara” (Lev, 2013).

Saya memaknai uraian di atas sebagai wujud dari gugatan terhadap tradisi hukum. Gugatan terhadap pilihan yang tidak menjadikan hukum yang khas Indonesia sebagai hukum masa depan.

Dari kutipan tersebut cukup menggambarkan: di satu sisi bagaimana hukum diperdebatkan di awal kemerdekaan, di sisi yang lain tentang pilihan tradisi hukum kita. Perdebatan ini sendiri pada dasarnya juga turut terjadi setelah masa-masa aroma kemerdekaan selesai. Dengan mengikuti perkembangan pembentukan KUHP dari awal, yang sekarang sudah disahkan menjadi kitab undang-undang yang baru, cukup menggambarkan peliknya membangun hukum “rasa” Indonesia.

Saya menggunakan istilah rasa atau khas secara bergantian, untuk menggambarkan ada kekhususan budaya Indonesia yang idealnya patut tertampung. Akan tetapi seperti saya sudah ungkapkan, selalu ada alasan bagi para pemikir pada setiap zaman. Bagaimana pun adanya gugatan, tentang bagaimana potret zaman dengan berbagai perkembangannya, tidak boleh kita lupakan. Tidak ada pilihan yang sederhana, melainkan melalui pergulatan panjang yang sudah dilakukan. Untuk proses tersebut, penghargaan harus diberikan dengan baik.

Leave a Comment