Apakah gosip itu dipengaruhi oleh kelas intelektual? Iseng-iseng dulu saya pernah melakukan pencatatan terhadap perkembangan tayangan-tayangan infortainment di televisi. Tayangan ini tidak sehat, walau ada organisasi menggolongkannya sebagai produk jurnalistik. Apa yang terjadi? Ternyata jam tayang untuk acara semacam ini, bertambah berlipat-lipat.
Sejumlah pemantau tayangan menyebut acara ini memiliki penonton paling banyak. Atas dasar itulah, semua televisi menambah jam tayang hingga ada yang tidak masuk akal –karena lebih setengah alokasi waktu untuk acara semacam ini. Apa yang dibicarakan di dalamnya? Sebagian besar adalah seputar hal-hal yang tidak perlu. Apakah ini bisa disebut sebagai gosip? Pertanyaan ini butuh jawaban lain lagi.
Kembali ke pertanyaan awal, bahwa sulit rasanya menjawab pertanyaan semacam itu. Jika terkait dengan kata intelektual, masalahnya jadi kompleks. Tidak bisa dianalisis hanya dengan fakta, karena ia juga harus dilihat dengan teori dan konsep. Intelektual juga manusia.
Saya ingin membatasi penggunaan kata intelektual. Saya lebih nyaman menggunakan kata “orang pandai”. Kata yang saya sebut terakhir ini, mungkin lebih tercapai maksud yang ingin saya sampaikan. Dengan demikian, pertanyaan di awal itu bisa ditanyakan dengan kalimat baru: apakah gosip itu dipengaruhi oleh kelas kepandaian seseorang?
Untuk pertanyaan ini, saya ingin jawab saja dari basis fakta, bukan teori, konsep, atau apatah namanya. Untuk pilihan ini pun tidak lepas dari pertanyaan lain, yakni fakta siapa?
Saya berangkat dari dua hal lain. Pertama, apakah orang-orang pandai itu tidak suka terhadap tayangan-tayangan yang saya cerita di atas? Kedua, selama ini saya aktif dalam beberapa grup What’sApp orang pandai, ternyata fenomena gosip itu juga bukan sesuatu yang aneh. Sederhananya, orang-orang pandai ternyata juga suka bergosip.
Ketika berbicara kata “gosip” ini, konsepnya ternyata luar biasa luas. Kamus Bahasa Indonesia mengartikan gosip sebagai obrolan tentang orang, orang lain; cerita negatif tentang seseorang; penggunjingan. Dari konsep gosip, ada kata lain yang menurut saya menarik: gunjing. Kata ini pun saya cari dalam kamus. Gunjing itu umpat; fitnah. Orang yang menggunjing berarti membicarakan kekurangan orang lain; mengumpat; memfitnah.
Lalu dari kata “gunjing” muncul kata yang lain lagi: umpat. Kata umpat itu untuk menggambarkan perkataan yang keji (kotor, dan sebagainya) yang diucapkan karena marah (jengkel, kecewa, dan sebagainya); cercaan; makian; sesalan; umpatan. Konsep ini lalu merembet ke teks lain lagi, yakni fitnah, cerca, dan maki. Fitnah adalah perkataan bohong atau tanpa berdasarkan kebenaran yang disebarkan dengan maksud menjelekkan orang (seperti menodai nama baik, merugikan kehormatan orang. Cerca adalah celaan (ejekan) yang keras; makian; umpatan. Maki adalah mengeluarkan kata-kata (ucapan) keji (kotor, kasar, dan sebagainya) sebagai pelampiasan kemarahan atau rasa jengkel.
Betapa gosip itu ternyata kompleks sekali konsepnya. Padahal secara sederhana, sesuatu yang dibicarakan tentang kita, ketika kita dengar akan menyakitkan, atau paling tidak hal tersebut tidak nyaman didengar, maka sesungguhnya ia sudah termasuk dalam kategori gosip ini. Bukankah dengan demikian, pada dasarnya ia sebagai sebuah penyakit?
Namun kehidupan kita juga begitu kompleks. Saya memiliki beberapa teman. Dalam kumpulan teman tersebut, ada pelbagai ragam. Diantara mereka ada yang sangat suka berbicara. Teman yang tipe begini, dalam setiap kesempatan bertemu, selalu sangat senang bila dipersilahkan untuk menyampaikan hal-hal yang penting. Ada yang setiap bertemu, lebih banyak mendengar ketimbang berpendapat. Sesekali, baru memberi pendapat atau berbagi cerita, bila dipaksa untuk berbicara.
Ada tipe lain yang sangat suka dengan gosip. Setiap bertemu, teman yang tipe ini, selalu menyampaikan kabar yang tidak pasti. Kabar yang selalu dimulai dengan kata, “katanya”.
Suatu kali, saya dan seorang teman, menjadi korban dari lalu lintas gosip. Ternyata, seorang teman saya yang sangat suka gosip itu, bertemu dengan seseorang yang dari segi tampilan tampak bisa dipercaya. Orang terkenal, bahkan kuliah pascasarjananya bukan dalam negeri. Banyak mendapat kesempatan mengisi diskusi. Orang inilah yang memberi kabar kepada teman saya yang suka gosip, tentang sesuatu mengenai saya dan seorang teman, yang sesungguhnya tidak pernah kami lakukan. Teman yang suka gosip itulah lalu meneruskan kabar itu ke berbagai ruang. Saya dan teman, baru tahu kabar itu setelah delapan bulan –mengenai kabar yang ternyata tidak mengenakkan.
Seharusnya, apa yang kita lakukan, harus bisa dipertanggungjawabkan. Akuntabilitasnya harus jelas. Ketepatannya harus pasti dan tak diragukan. Selain potensi melalui berbicara, ada ruang lain yang sangat fatal dalam kehidupan kita, yakni menyampaikan sesuatu dengan tulisan. Ada yang orang yang memiliki kemampuan berbicara (oral) semata. Ada juga yang hanya mampu menyampaikan melalui tulisan-tulisannya. Ada yang tulisannya bagus, ketika minta berbicara, kacau dan tidak teratur. Syukur, kalau dalam diri seseorang terdapat keduanya.
Apa yang kita tulis atau apa yang kita bicarakan, dalam konteks akuntabilitas, seyogianya harus terukur dan merupakan sesuatu yang benar-benar terjadi. Bukan kabar angin. Ketika apapun yang mau diucapkan atau ditulis tetapi masih meragukan, maka cek dulu sekali atau beberapa kali lagi.
Rumus cek dan ricek bukanlah rumus biasa. Rumus itu mengingatkan manusia untuk selalu menimbang-nimbang mengenai apa yang diucap atau ditulisnya. Sebelum mengucap atau menulis sesuai, ada baiknya mencoba merasa-rasa. Ada bagian tubuh yang harus didayakan untuk meresapi tentang apa yang ingin disampaikan. Ketika yang mau diucap atau mau ditulis, ternyata berpotensi berbeda dengan kenyataan sebenarnya, tak ada salahnya untuk menahan diri lebih dahulu.
Harus berani melakukan uji ulang dan selalu berprasangka, “jangan-jangan salah”, atau “bagaimana kalau salah”. Inilah filosofi paling penting dari kepemilikan dua bagian tubuh untuk mendengar dengan satu bagian tubuh untuk berbicara. Bukan sebaliknya. Maka sudah pada tempatnya, harus lebih berani untuk lebih banyak mendengar segala sesuatu melalui cek dan ricek. Apapun yang sudah dikeluarkan, bisa diklarifikasi untuk fisik dan lahir. Butuh energi besar menghilangkan noda batin.
Jadi pertanyaan awal saya, mohon maaf, tetap tak terhindarkan penyakit ini dari orang-orang pandai. Menurut saya sungguh malu, jika orang pandai yang penuh gelar, namun suka gosip. Tapi entahlah.
Wallahu A’lamu Bish-Shawaab.