Gurihnya Kekuasaan

Kekuasaan itu sangat gurih, makanya orang-orang berlomba memperolehnya. Bahkan ada yang berusaha dengan berbagai cara. Hari-hari tenang menjelang pemilihan kepala daerah, tidak sedikit calon dan timnya bergerilya melakukan cara-cara yang licik. Apa yang menyebabkan semua …

Kekuasaan itu sangat gurih, makanya orang-orang berlomba memperolehnya. Bahkan ada yang berusaha dengan berbagai cara. Hari-hari tenang menjelang pemilihan kepala daerah, tidak sedikit calon dan timnya bergerilya melakukan cara-cara yang licik. Apa yang menyebabkan semua itu mau dilakukan? Tidak lain, karena kekuasaan itu gurih.

Dengan setengah berkelakar, seorang teman menanyakan mengapa disebut gurih. Normatifnya, mereka yang memegang kekuasaan mendapat faslitas yang berjibun. Semua aktivitas yang dilakukan selalu berkompensasi dengan fasilitas dan tunjangan.

Ada hal lain yang membuat orang tergila-gila dengan kekuasaan, karena seorang yang memiliki kuasa di tangannya, dikelilingi oleh banyak orang –sebagian mereka adalah orang-orang yang menunggu berbagai jatah. Lalu lihatlah bagaimana mereka dilayani sehari-hari, mulai dari meja makan, orang-orang yang membawa tas jinjing, hingga mereka yang selalu menunggu dan menutup dan membuka pintu. Semua itu menjadi alasan masuk akal seseorang semakin gila untuk selalu ada kuasa di tangannya.

Lalu tidak adakah mereka yang menjadikan kekuasaan sebagai ladang ibadah? Tentu ada, namun jumlahnya mungkin hanya sejari tangan. Tidak lebih. Orang-orang yang memiliki orientasi berbeda, seperti mendapatkan air di padang pasir. Dalam dunia politik yang suka-suka, orang-orang yang menjalankan kekuasaan dengan penuh amanah, menjadi satu hal yang aneh. Mereka yang hanya mengambil fasilitas dan tunjangan seperlunya, justru dianggap sebagai orang yang akan mengacaukan keseimbangan.

Dunia yang gersang harus memperbanyak orang-orang yang menjalankan kekuasaan dengan benar. Orang-orang yang memahami betul bahwa menjalankan kekuasaan adalah mengemban amanah, yang tidak hanya bagi manusia proses pertanggungjawabannya, melainkan juga kepada Pencipta. Orang yang semacam ini akan sadar bahwa sekecil apapun menyia-nyiakan amanah itu, selalu ada implikasi pada saatnya nanti.

Orang-orang yang akan menjalankan kekuasaan dengan benar, memahami betul kapan fasilitas publik dipakai yang berbeda dengan fasilitas untuk kekuarganya. Tidak dicampur aduk hingga tidak jelas urusan untuk orang banyak dan urusan keluarga.

Ada kisah menarik dari Umar bin Abdul Azis. Suatu kali, ketika ada orang yang datang ke ruang kerjanya, ia menanyakan kepentingan apa yang ingin dibicarakan. Orang itu menjawab, kepentingan keluarga. Lantas ia mematikan lampu yang dibiayai dari uang rakyat. Ia jelaskan kepada orang tersebut, bahwa selain untuk kepentingan negara dan rakyat, ia tidak boleh menggunakan fasilitas yang disediakan.

Mungkin, kisah itu bisa dibanding-bandingkan dengan dalam dunia kita kini, yang justru kebanyakan, ketika memperoleh kekuasaan, bukan saja tidak memastikan semua fasilitas negara yang dibiayai rakyat untuk kepentingan negara dan rakyat, melainkan turut mempertanyakan apabila fasilitas berkurang untuk berbagai kebutuhan yang di luar kepentingan negara dan rakyat. Tidak sebatas untuk membiayai urusan keluarga, bahkan dengan kekuasaan juga digunakan untuk membiayai para pendukung dan kelompoknya yang mendukung ketika memperjuangkan kekuasaan.

Sekali lagi, inilah alasan, barangkali, yang mendasari mengapa seseorang atau sekelompok orang berjuang sekuat tenaga untuk memperoleh kekuasaan. Bahkan tidak jarang, untuk merebut kekuasaan tersebut tidak saja dilalui dengan jalan tidak sah dan sesuai jalur, juga dengan kekerasan dan cara-cara yang tidak masuk akal.

Memutuskan ikut atau tidak dalam mendapat kekuasaan, juga tak sepenuhnya ditentukan oleh yang bersangkutan. Ada rombongan di belakang layar. Sehingga orang yang ditampilkan, kadangkala bukan penguasa yang sebenarnya. Seringkali berbagai keputusan sangat ditentukan oleh orang-orang yang di belakangnya.

Seseorang atau sekelompok orang berlomba-lomba mengejar kekuasaan, juga akhirnya bisa dipahami. Walau dalam setiap kekuasaan seyogianya selalu ada pertanggungjawaban, baik di dunia maupun di akhirat. Di dunia, tak peduli semakin hari, semakin banyak orang yang bermasalah. Jumlah penguasa dan bekas penguasa yang masuk penjara karena membawa lari uang rakyat semakin banyak saja. Sementara ketika di akhirat, harta yang didapat tidak benar akan membuat perut buncit hingga menjulur ke tanah dengan lidah menjulur keluar.

Dengan demikian pertanggungjawaban selalu di dua ruang: dunia dan akhirat. Di dunia mungkin bisa dimanipulasi, karena ada pengawal yang bisa disogok atau dibagikan hasil curian, sedangkan di akhirat, penjaga tidak mungkin disogok karena dengan wajah sangar dan kasar. Namun ancaman dunia dan akhirat, tidak selalu menakutkan. Orang yang sudah memegang kekuasaan, kebanyakan selalu berusaha mendapatkan kembali di periode berikutnya. Ada orang yang diawal kuasa mengumumkan dengan yakin cukup satu periode, tetapi ketika mendekati akhir, mengubah putusan, dengan alasan periode selanjutnya dibutuhkan untuk menyempurnakan yang sudah dikerjakan.

Saya teringat pada seorang guru saya, yang ketika mendapatkan jabatan, dari awal bertekad hanya untuk satu periode. Ketika hampir di titik akhir, keputusan itu tidak berubah. Bahkan menurutnya, orang yang berhasil menjalankan kekuasaan saja tidak layak melanjutkan periode berikutnya, apalagi mereka yang gagal.

Seharusnya alasan untuk berbuat baik, tidak mesti dengan berusaha meraih kembali kuasa –walau tidak dengan cara santun. Kita harus yakin bahwa arena untuk berbuat baik kepada banyak orang, tidak selalu lewat kuasa semata.

Dengan kata lain, melakukan sesuatu yang baik tidak mesti lewat proses mendapatkan kekuasaan terlebih dahulu. Benar bahwa ketika mendapatkan kekuasaan, banyak hal baik yang bisa dilakukan. Tetapi jangan lupa, banyak hal buruk juga yang bisa dilakukan.

Lakukanlah hal yang baik dan lurus, tidak selalu harus dengan mengejar ada jabatan terlebih dahulu. Seseorang akan mendapatkan amanah apa pun pada waktunya.

Wallahu A’lamu Bish-Shawaab.

Leave a Comment