Hak Konstitusional Lingkungan

Soal hak konstitusional lingkungan, saya membacanya dari dua buku, yakni Green Constitution, Nuansa Hijau Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang ditulis Jimly Asshiddiqie, dan buku Politik Hukum Lingkungan, Dinamika dan Refleksinya dalam Produk …

Soal hak konstitusional lingkungan, saya membacanya dari dua buku, yakni Green Constitution, Nuansa Hijau Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang ditulis Jimly Asshiddiqie, dan buku Politik Hukum Lingkungan, Dinamika dan Refleksinya dalam Produk Hukum Otonomi Daerah yang ditulis Muhammad Akib.

Sesungguhnya buku yang berisi isu hak konstitusional lingkungan, bisa didapat dari sejumlah buku atau penelitian lainnya, namun secara pribadi saya hanya tahu dan belum membacanya.

Dalam buku Profesor Jimly Asshiddiqie, disebut green constitution disebabkan perkembangan konstitusi negara ini yang suadah mengatur hingga hal-hal mendasar lingkungan. Buku ini juga menjelaskan betapa pentingnya konstitusi hijau dalam makna ekokrasi bagi negara ini. Dasar-dasar konseptual terkait lingkungan hidup dan sustainable development sebagai mana diatur dalam konstitusi negara ini, secara lebih luas sudah termasuk dalam makna demokrasi sekaligus nomokrasi yang bertumpu pada kedaulatan lingkungan. Amandemen konstitusi menjadi momentum pada proses pencapaian ini.

Sementara dalam buku Muhammad Akib, merujuk sejumlah penjelasan mengaitkan hak konstitusinal dengan hak lingkungan. Dengan mengutip Heinhard Stieger, gagasan perlunya jaminan perlindungan hak-hak lingkungan ke dalam konstitusi, khususnya hak-hak lingkungan individual.

Selain itu, dengan merujuk pada apa yang dituliskan W. Pederson, Muhammad Akib menyebutkan bahwa hak-hak lingkungan perseorangan sebagai hak-hak subjeitf (subjective right) atau sering disebut sebagai hak-hak fundamental (fundamental rights) umumnya diakui semua negara dalam dua tingkatan berbeda, yakni dalam tingkatan konstitusi dan perundang-undangan biasa. Permumusan hak tersebut dalam perundang-undangan kurang mendapat perlindungan hukum dibandingkan dengan hak-hak lingkungan yang dapat menjadi muatan konstitusi tidak hanya terbatas pada hak-hak subjektif, tetapi juga hak-hak lain, seperti hak-hak procedural dan hak-hak lingkungan yang didasarkan pada nilai instrinsik alam itu sendiri (Akib, 2013).

Konteks ini sendiri juga pernah dituliskan Mas Ahmad Santosa dalam bukunya Good Governance dan Hukum Lingkungan. Ia mengaitkan konteks lingkungan dengan posisi hak asasi atas lingkungan yang bersih dan sehat (Santosa, 2001). Mengaitkan keduanya, sungguh merupakan langkah penting dalam upaya memberi tempat pada lingkungan (dan lingkungan berkelanjutan). Merujuk pada pembagian generasi hak asasi manusia yang dilakukan Karel Vasak, sepertinya pengelompokan ini masuk dalam generasi hak asasi manusia ketiga.

Saya menyebut generasi hak asasi manusia ini sebagai pembabakan. Jasa seorang ahli hukum berkebangsaan Ceko-Prancis yang bernama Karel Vasak. Ia yang memilah HAM itu dalam tiga generasi, yakni generasi pertama, kedua, dan ketiga.

Sebelum saya mengurai sekilas HAM generasi tersebut, saya ingin menyentuh sedikit tentang bagaimana pendapat orang-orang berpengaruh begitu mudah menyebar. Vasak ini bukan orang biasa. Ia malang-melintang dalam dunia HAM. Banyak makan asam garam, kalau kata orang Indonesia. Jadi bukan orang biasa. Hal ini hanya untuk menegaskan lebih dahulu bahwa apa yang kemudian muncul, tidak melalui mulut mereka yang tidak memiliki kuasa. Namun saya tidak menampik juga, ada hal tertentu yang memungkinkan satu gagasan penting, terutama untuk era abad ke-20 menengah hingga sekarang, lahir dari orang-orang yang bergulat tentang gagasannya (Tripa, 2025).

Generasi HAM pertama terkait dengan kebebasan dan hak politik yang paling hakiki. Secara internasional, disepakati apa yang disebut sebagai hak sipil dan politik. Perjuangan paling dasar yang sudah diperjuangkan berabad-abad sebelumnya. Perjuangan terkait dengan hak hidup, equal dalam kehidupan hukum dan pemerintahan, hak untuk mendapatkan proses hukum yang adil, sudah dilakukan sejak berabad-abad sebelumnya. Apalagi jika diingat kebelakang, saat para aktivis perempuan di Barat menuntut agar mendapatkan hak pilih dan memilih dengan baik. Mengacu pada International Covenant on Civil and Political Rights, Majelis Umum PBB sudah menyepakati perjuangan hak-hak ini sejak 1966. Merujuk pada hasil kovenan, Sidang Majelis Umum menyepakatinya pada 16 Desember 1966 melalui Resoluasi 2200, namun ia mulai berlaku pada tanggal 23 Maret 1976.

Generasi HAM kedua sudah lebih luas dari generasi HAM pertama. Generasi ini sudah berbicara pada hak ekonomi, sosial, dan budaya. Pada generasi kedua, sudah dipermasalahkan Kesehatan, pangan, tempat tinggal. Masalah-masalah ini muncul terutama menjelang abad ke-20, ketika masalah kemiskinan mengemuka dan dianggap sebagai masalah penting yang harus diselesaikan. Berpadu dengan bagaimana eksploitasi yang berlangsung di banyak negara. Mengacu pada International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights, Majelis Umum PBB sudah menyepakati ini juga sejak 1966. Pada 16 Desember, kovenan ini disepakati, dan mulai berlaku sejak 3 Januari 1976.

Generasi HAM ketiga, sudah masuk dalam isu-isu tentang pembangunan dan lingkungan hidup. Pertemuan perwakilan negara-negara pada 1972 mengawali lahirnya sejumlah konsensus penting tentang pembangunan sekaligus lingkungan hidup. Pada waktu itu, ada kegelisahan sejumlah wakil negara terkait bagaimana perkembangan lingkungan hidup di dunia. Pembangunan dilakukan refleksi dengan menyiapkan kembali konsepnya secara mendasar dan tidak berdampak pada lingkungan fisik dan lingkungan sosial-budaya.

Generasi HAM itulah yang sejak 1979 sudah ditawarkan oleh Vasak sebagai sebuah konsep keilmuan sekaligus dasar dalam kebijakan praktis. Sebagai sebuah konsep keilmuan, tentu saja ia dibangun secara lengkap dengan basis cara berpikir tertentu, yang belum tentu akan sama direspons di seluruh dunia. Khusus dalam kovenan untuk generasi HAM pertama dan kedua, dengan gamblang kita bisa menyaksikan negara mana saja yang melakukan ratifikasi dengan baik di negaranya masing-masing.

Konteks hak asasi inilah yang memungkinkan perhatian terhadap lingkungan sekaligus kewajiban negara idealnya semakin dalam. Dan jika melihat perkembangan, hal tersebut sekaligus terasa dalam konstitusi kita. Ada satu pendapat yang diberikan dalam satu pertemuan yang membahas terkait materi amandemen UUD 1945, oleh Mas Ahmad Santosa. Menurut Santosa, penguatan hak-hak konstitusional bidang lingkungan hidup sangat penting, dengan tiga argumentasi sebagai berikut (Santosa, 2009; Akib, 2013). Pertama, kebutuhan akan perubahan paradigma (mind set) dari paradigma pertumbuhan ekonomi (economic growth) ke pembangunan berkelanjutan (sustainable development). Hak-hak konstitusional memiliki kekuatan untuk melakukan perubahan mind set dari penentu kebijakan (decision makers). Ada semacam daya paksa agar penentu kebijakan melakukan harmonisasi terhadap hak-hak konstitusional dengan ancaman adanya gugatan melalui constitutional review di Mahkamah Konstitusi.

Kedua, tidak berjalannya peran acuan harmonisasi peraturan perundangan-undangan terkait lingkungan hidup termasuk seluruh peraturan perundang-undangan sectoral, termasuk pengairan, pertambangan, energi, kehutanan, dan industri. Pemikiran ini muncul saat Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 belum lahir, jadi masih mengacu pada konteks Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997. Undang-undang ini, bersifat ordinary legislation sehingga posisi sederajat seperti peraturan perundang-undangan lainnya. Kondisi ini sendiri sesungguhnya bisa dibandingkan dalam konteks agraria yang memiliki kondisi yang sama, sebagaimana disebut Yance Arizona, ketidakharmonisan antarsektor terjadi dan malah saling mendominasi (Arizona, 2014).

Ketiga, idealnya semakin kuat hak konstitusional diakui, maka semakin kuat posisi tawar rakyat maupun alam vis a vis negara, karena Mahkamah Konstitusi memiliki kewajiban memberikan putusan atas pendapat DPR mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan Wakil Presiden menurut UUD atau yang popular disebut dengan impeachment.

Wallahu A’lamu Bish-Shawaab.

Leave a Comment