Ramadhan sedang berada pada harihari terakhir. Riwayat-riwayat pesan agama mengungkapkan betapa seharusnya kesedihan melanda bumi, karena bulan penuh berkah ini akan pergi. Bulan yang dilipatgandakan kompensasi dari ibadah secara berlipat-lipat. Banyak umat justru sebaliknya, bergembira luar biasa karena hari raya telah tiba.
Apa yang membekas dalam kehidupan kita setelah sebulan berpuasa? Rasanya butuh refleksi untuk itu. Takutnya kita hanya menjalani seperti durasi dan perputaran bulan dan bumi. Bergerak dari satu titik ke titik lain, namun tidak memberi bekas apa-apa pada titik-titik yang dilewati itu. Lalu apa artinya sebulan penuh selain hanya satu putaran bulan mengelilingi bumi, sedang perilaku dan pengaruh dalam kehidupan kita biasa-biasa saja?
Mudah-mudahan tidak demikian. Namun percayalah pasar-pasar semakin menggelora. Beberapa hari terakhir, kalau ada kesempatan kita mengelilingi sekeliling masjid raya kita, lihatlah betapa semarak pasar-pasar hingga dini hari. Bahkan sebelum agenda di dalam masjid selesai. Ini tanda apa?
Suatu waktu saya menemukan satu foto lama. Lalu saya membayangkan bagaimana hiruk-pikuk 10 hari terakhir bulan puasa. Foto itu saya naikkan dalam sebuah status. Isinya mengenai kondisi masjid pada masa dahulu. Saya mendapatkan sejumlah foto lama dari sejumlah laman. Setelah tsunami, lahir sejumlah situs yang merekam sejumlah foto-foto sejarah Aceh masa silam. Melalui potongan-potongan gambar, seseorang akan berusaha memahami Aceh melalui apa yang tergambar. Tidak jarang foto kadangkala lebih bisa berbicara dibandingkan dengan ulasan yang kaku.
Ada sejumlah foto lama yang saya dapatkan tidak dari sumber yang semestinya. Yang saya maksud dengan sumber yang semestinya adalah lembaga terkait yang mengurus rekaman masa lalu. Justru pada lembaga demikian, sering tak dijumpai foto-foto penting yang saya dapat melalui sejumlah foto itu. Pengelola situs bisa jadi mendapatkannya dari orang-orang yang menyimpan naskah tua. Mereka yang kreatif lalu merekam. Pihak yang merekam ini juga terpilah kepada dua: satu yang meminta ijin sebagaimana mestinya kepada pemilik, kedua tak jarang mereka yang asal comot lalu menayangkan di situs mereka.
Untuk pilihan yang kedua, seyogianya tidak demikian, mengingat usaha dan kerja keras para empunya dokumen. Untuk mendapatkan naskah penting, bukan sesuatu yang mudah. Tidak jarang mereka yang memburu naskah, mengeluarkan uang tidak sedikit agar dapat menyelamatkan banyak naskah penting tersebut.
Dokumen yang demikian justru banyak orang per pribadi yang menyimpannya. Sekarang ini, hal demikian sepertinya lumrah terjadi. Sama ketika mendengar keluhan dari seorang teman yang mencari berbagai naskah atau manuskrip lama, dimana yang sering dijumpai pada orang-orang tidak mengerti naskah. Sedikit pada orang-orang yang memahami. Selebihnya, tersebar secara berserak, makanya kemudian banyak yang tidak mempertahankan keberadaan naskah akibat ketidaktahuannya. Demikian juga dengan foto sejarah yang bernilai, secara tidak tersengaja, terlihat pada dinding orang yang bukan pembelajar konteks dari sejarah yang bersangkutan.
Dalam salah satu foto yang demikian itulah, memperlihatkan kedekatan masjid dan pasar. Melalui beberapa artikel yang terkait dengan hari pekan (hari pasar; uroe peukan), disebutkan banyak pasar yang secara periodik didirikan berdekatan dengan masjid. Menariknya, kondisi tersebut memiliki fungsi penting, yakni menjaga agar suasana masjid tidak terganggu dengan suasana pasar. Kehendak orang-orang waktu itu adalah ingin mengatur lalu-lintas pasar agar mengikuti ritme jamaah masjid. Ketika tiba waktu shalat, misalnya, pasar bisa dikontrol untuk menghentikan aktivitasnya, dan mengarahkan pemilik dan pengunjung segera beralih tempat, dari pasar ke masjid.
Dengan logika demikian, sepertinya sangat masuk akal. Ada hubungan khusus yang dicoba bangun. Di samping kepentingan yang tak kalah penting, yakni menjaga perilaku yang tidak dibolehkan dalam agama, seperti berjudi dan mengundi nasib. Pada malam hari, bisa memantau langsung dari adanya peredaran minuman yang dilarang, baik yang dibawa dari kawasan lain maupun yang secara sederhana dibuat masyarakat sendiri. Semua ini yang menjadi alasan mengapa lokasi pasar berdekatan dengan masjid pada waktu itu.
Dengan beberapa pengalaman mengunjungi daerah-daerah yang jauh dari pusat kota, melihat keberadaan hari pekan juga demikian. Banyak lokasi menjadikan hari Jumat sebagai hari pekan, dengan harapan ketika sudah mendekati waktu jumat, semua proses jual-beli bisa dikontrol untuk dihentikan. Dengan demikian, masjid termasuk lokasi yang akan diramaikan oleh para jamaah.
Kata kuncinya adalah kontrol masjid atas pasar. Berbagai aktivitas pasar berlangsung dengan mengikuti aktivitas masjid. Pasar baru dihidupkan ketika masa shalat sudah selesai. Bukan sebaliknya, pasar yang mengontrol masjid. Kondisi ini yang seharusnya tidak terbolak-balik. Apalagi dalam kenyataan orang yang berkepentingan ke pasar jauh lebih banyak ketimbang orang yang berkepentingan dengan masjid. Ironisnya ada yang merasa jauh lebih penting ke pasar dibandingkan ke masjid, sehingga tidak berkesempatan ke pasar dianggap lebih rugi dibanding tidak berkesempatan ke masjid.
Kondisi ini sedang dialami sebagian masyarakat kita, yang dalam kenyataan bisa diverifikasi mendekati menjelang hari raya. Semalam dan nanti malam bisa diverifikasi sendiri. Masing-masing kita.
Dalam sepuluh terakhir Ramadhan ini, sejumlah titik mulai tampak. Dari jauh, kita pun bisa mendengar riuh pengeras suara di pasar sudah berlomba-lomba, seolah bersaing dengan pengeras suara dari dalam masjid. Pertanda semacam ini, tentu tidak boleh dianggap sederhana. Kita harus semakin berbenah.