Hukum Anggaran dan Anggaran Hukum

Di dalam ruang kuliah, pertanyaan bagaimana hukum dijadikan alat permainan, sungguh tidak sulit ditemukan. Namun di luar, semuanya tampak sehat-sehat saja. Seperti tidak terjadi apa-apa. Tidak semua hal mampu diungkapkan secara terbuka oleh siapa pun …

Di dalam ruang kuliah, pertanyaan bagaimana hukum dijadikan alat permainan, sungguh tidak sulit ditemukan. Namun di luar, semuanya tampak sehat-sehat saja. Seperti tidak terjadi apa-apa. Tidak semua hal mampu diungkapkan secara terbuka oleh siapa pun yang berkepentingan. Ada risiko lain yang menghinggap publik yang kritis. Hukum yang satu memberi peluang, dengan kritik, tetapi ada hukum lain yang membatasi, antara lain membuat orang lain tidak senang, atau mencemarkan nama baik, atau menggunakan jalur teknologi informasi dan komunikasi sebagai alat untuk melakukan keduanya.

Saya ingin mengungkapkan bagaimana dalam pembentukan peraturan terkait anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD), mereka yang membentuknya sering menjadikannya sebagai alat permainan. Indikatornya adalah: Pertama, sudah tahu bahwa APBD itu sebagai kebutuhan yang tidak tahu wajib ada. Kedua, secara nasional, sudah ada arahan untuk menyelesaikan dalam tenggat waktu yang disediakan. Realitasnya, di lapangan, banyak daerah yang terlambat. Sayangnya yang menjadi korban dari keterlambatan itu adalah publik luas yang seharusnya bisa mendapatkan pembangunan sebagaimana yang direncanakan.

Hal ini yang terjadi berkali-kali. Di Provinsi Aceh, gaduh Rancangan Qanun tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Aceh (APBA), selalu terjadi. hampir tiap tahun. Tiga hal yang tidak mungkin disembunyikan. Pertama, ada wajah ketidakakuran elite yang terwakili lewat kegaduhan ini. Sebagai produk dari kerjasama dua lembaga (eksekutif dan legislatif), kegagalan melahirkan ‘satu kata’ dari Qanun APBA, adalah cermin dari ketidakakuran itu.

Kedua, melahirkan hukum yang substansinya tentang APBA, merupakan kebutuhan banyak orang. Bagaimana bisa kebutuhan banyak orang ini, tidak bisa dibicarakan dari awal, dengan rencana yang matang, agar prosesnya tepat waktu. Justru kalau kita toleh ke belakang, bertahun-tahun proses pengesahan ABPA terlambat. Aceh sering menjadi daerah yang terkena ‘kartu kuning’ dalam hal ini.

Ketiga, APBA selalu terkait dengan kesepakatan dan kesepahaman. Kesepakatan mencerminkan dominasi dan tekanan, agar kedua pihak menyeimbangan kepentingan di dalamnya. Sedangkan kesepahaman, secara filosofis ingin berupaya menonjolkan kepentingan lebih besar dari sekedar eksekutif dan legislatif, yakni kepentingan publik. Seharusnya selalu disadari bahwa dampak dari semua ulah elite adalah rakyat banyak. Orang-orang yang seharusnya mendapatkan hasil pembangunan, namun terlambat karena permainan para elite tersebut.

Bagaimana permainan elite terjadi? Sejumlah kampus Fakultas Hukum yang masih menyediakan kajian hukum dan kebijakan, selalu memperkenalkan satu kata penting dari berbagai proses kebijakan, yakni ‘black box’. Sang empunya gagasan, David Easton, menyebutkan bahwa dalam ‘kotak hitam’ itu, semua hal memungkinkan terjadi.

Gagasan Easton bukan sesuatu yang baru. Bukunya A System Analysis of Political Life, sudah diterbitkan tahun 1965. Domainnya tidak hanya terkait politik, melainkan juga sosiologi dan hukum. Terkait dengan hukum, keberadaan politik selalu terkait dengan penyelenggaraan fungsi masukan (input) dan fungsi keluaran (output). Namun diingatkan, bahwa kedua fungsi itu sangat ditentukan oleh aktor politik.

Lebih jauh, disebutkan bahwa fungsi input disalurkan melalui sosialisasi politik, artikulasi kepentingan, himpunan kepentingan, dan komunikasi politik. Sedangkan fungsi output, dijalankan pembuatan peraturan, mengaplikasikan peraturan, dan memutuskan peraturan.

Ketika fungsi input dan output itu diselenggarakan, ada ruang yang disebut kotak hitam, sebagai titik temu berbagai kepentingan. Dalam kajian masing-masing ilmu, titik temu kepentingan ini bisa ditafsirkan secara beragam.

Kepentingan terbesar yang seharusnya muncul dalam pembentukan peraturan (rule-making) adalah kebahagiaan manusia. Bahkan keseyogiaan ini muncul dalam mazhab positivisme hukum yang menganggap satu-satunya konsep hukum adalah peraturan perundang-undangan. Pencapaian kebahagiaan manusia, melalui pembentukan hukum, idealnya adalah dengan menjadikan jiwa bangsa sebagai pegangan dari substansinya.

Sayangnya dalam kajian hukum dalam ranah realitas, pencapaian di atas mirip dengan ilusi dan mimpi. Kenyataannya, pembentukan hukum selalu sebagai cermin dari bertemunya berbagai kepentingan. Malah ada yang lebih ironis, ketika pembentukan hukum hanya untuk mewujudkan apa yang disebut sebagai ‘hukum matematis’.

Istilah yang saya sebut itu, selalu berwujud kepada tiga hal. Pertama, pembentukan hukum hanya menyasar peraturan perundang-undangan yang mencerminkan dari banyaknya kepentingan. Pada masa lalu, titik temu berbagai kepentingan ini disitir melalui apa yang disebut pekerjaan rumah (PR) dan rupiah (Rp). Untuk peraturan perundang-undangan yang bernuansa PR, terkesan sangat sulit untuk diselesaikan. Sebaliknya, untuk peraturan perundang-undangan yang bernuansa Rp, bisa disulap dalam waktu yang sekejap.

Kedua, pembentukan hukum tidak pernah tuntas dilakukan. Secara substansi, seperti ada kesengajaan sebuah peraturan perundang-undangan untuk menyediakan lubang hukum, yang memungkinkan masing-masing pihak untuk terus berdebat tentang apa yang dimaksudkan. Terkait struktur, wajah kelembagaan yang baru hampir selalu muncul dalam pembentukan peraturan perundang-undangan.

Ketiga, dengan adanya pembentukan peraturan perundang-undangan, bisa menampilkan kekuatan politik, sekaligus mencerminkan kekuatan-kekuatan politik yang mewarnai di dalam proses pembentukannya.

Secara teoritis, dinamika yang disebut David Easton, bahwa hukum dan kebijakan selalu terkait dengan kepentingan. Suatu kebijakan, dilahirkan dari input yang sangat ideal, namun diingatkan bahwa yang keluar, sebagai output, selalu tidak pernah ideal. Apa yang menyebabkan output itu tidak pernah ideal? Menurut Easton, karena input, sebelum menjadi output, selalu melalui sebuah kotak hitam yang di dalamnya berbagai hal dan kepentingan dipertemukan. Proses pemaduan dan penyelarasan kepentingan di dalamnya, turut dimainkan oleh berbagai kekuatan, baik formal maupun informal.

Kekuatan yang berhasil memainkan peran pemaduan dan penyelarasan kepentingan, bisa berhasil mencapai target, yakni menyulap hukum untuk kepentingan yang lebih besar. Sebaliknya, ketika kekuatan ini gagal, implikasinya sangat jauh bagi banyak pihak.

Mungkinkah ada yang gagal dalam ‘kotak hitam’ ini saat APBA dibahas? Lantas mengapa ia kemudian terbawa ke arena yang lebih luas? Berbagai hal yang seharusnya hanya terbuka di dalam ‘kotak hitam’, justru kini bisa dinikmati oleh kalangan yang tidak terbatas? Bukankah hal ini terasa menyedihkan?

Sudah seharusnya elite menahan diri. Elite adalah lapisan yang paling menentukan kebijakan. Mereka seharusnya menyulap hukum untuk pencapaian tujuan hukum yang lebih besar, yakni kebahagiaan rakyatnya. Seharusnya tidak lagi berpikir bahwa pembentukan hukum hanya sebatas sebagai tugas dan kewajiban. Dampak dari hukum seharusnya adalah membahagiakan. Menyejahterakan.

Leave a Comment