Ada satu keadaan yang disadari oleh pembentuk dan pelaksana hukum, yakni apa yang disebut dalam kredo: “het recht hinkt acher de feiten aan”. Hukum tertatih-tatih di belakang kenyataan sosial yang berlari cepat.
Dalam sebuah buku lama tentang hukum, saya menemukan penjelasan menarik penulis dalam pengantarnya. Buku ini merupakan buku yang ditulis berdasarkan program Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan pada tahun 1975. Namun entah mengapa, tidak dijelaskan dalam buku tersebut, apa alasan sehingga baru dicetak pada tahun 1980. Ada rentang lima tahun dari penulisan.
Jika direka-reka, mungkin hampir sama dengan masa sekarang. Program tertentu belum tentu langsung tersambung dengan rencana program selanjutnya. Program awal penulisan buku, dengan berbagai alasan, tidak tersambung dengan proses penerbitannya. Alasan yang sering muncul belakangan ini, adalah anggaran. Semua program membutuhkan anggaran.
Ada masalah lain yang terungkap akhir-akhir ini. Dalam sejumlah kasus penting korupsi selama ini yang diungkap pengadilan, untuk penentuan anggaran proyek-proyek besar, selalu berlangsung proses tawar-penawar di belakang layar. Ternyata sebuah anggaran pembangun tidak berlangsung begitu saja secara alamiah, sebagaimana masing-masing tugas. Ada proses interaksi dan komunikasi antara mereka yang mengajukan anggaran, dengan mereka yang mengesahkan. Banyak temuan tentang kisah bagi-bagi tumpuk. Kelas tumpuk juga berbagai macam. Lagi-lagi saya harus menyebut berdasarkan temuan pengadilan korupsi, tumpuk berbeda-beda menurut levelnya. Ironisnya ada orang yang mengaku tidak mau menerima tumpuk, sementara dalam keterangan saksi ada yang disebutkan orang tertentu yang tidak mau diterima, bukan karena memang idealismenya sebagai penolak tumpuk yang tidak jelas, melainkan karena jumlahnya yang tidak sesuai permintaan. Nah!
Tentu saya tidak bisa menerka apa yang terjadi pada masa itu, sehingga buku hukum tersebut tidak langsung dicetak, sehingga harus menunggu masa lima tahun. Namun ada hal yang diingatkan dalam pengantar penulis. Bahwa isi buku akan banyak harus mendapatkan kontekstualisasi ulang. Hal yang digambarkan lima tahun lalu untuk satu hal, belum tentu masih cocok dengan hal yang sama setelah lima tahun kemudian.
Hal ini terkait dengan perkembangan masyarakat yang berubah dengan sangat cepat. Sementara pada saat yang sama, hukum berjalan bertatih-tatih di belakangnya. Para ahli hukum sangat menyadari kondisi tersebut. Bahkan kondisi ini sudah terekam ketika debat tentang hukum sudah lama dimulai. Para ahli hukum yang berbeda-beda titik-tolak, lalu akan menyebabkan perbedaan pandangan. Masing-masing berjalan dengan kerangka pikirannya sendiri.
Dengan perkembangan terkait hukum dan nonhukum, juga akhirnya diperdebatkan. Ada ahli hukum yang melihat hukum sebagai sesuatu yang netral. Tidak sedikit pula yang melihat hukum dalam posisi yang justru tidak netral. Ada yang melihat hukum tidak berada dalam ruang hampa. Sehingga dalam kenyataan, ia selalu bersentuhan dengan banyak hal. Ketika menyebut perjalanan hukum yang tertatih-tatih, ahli hukum juga bisa mempertanyakan sebenarnya apa yang dimaksudnya dengan hukum.
Mungkin tidak semua sepakat tentang satu hal. Seringkali sepakat atau tidaknya tergantung pada kepentingan apa yang melingkupi. Akhir-akhir ini tentang debat suatu undang-undang kekhususan daerah. Lima tahun lalu, undang-undang ini juga diperdebatkan, dengan lingkup yang lain. Kini posisi yang mempertanyakan sudah berbeda-beda, dan bisa diterka bahwa politiklah yang menjadi penyebabnya.
Kepentingan politik telah banyak membuat apa yang dipikirkan banyak orang sudah berbeda. Saya teringat satu pengantar buku yang terbit tahun 1980 itu, sedang bukunya sudah selesai tahun 1975, bahwa dalam lima tahun ketika buku itu dicetak, harus dilihat sejumlah hal terkait kontekstualisasinya. Sekali lagi, dalam lima tahu itu banyak terjadi perubahan. Dan, hukum berjalan tertatih di belakang perkembangan masyarakat yang sangat cepat.
Hal yang bisa saya sampaikan adalah berbagai perkembangan kemudian semakin membuat hukum tertatih, sedangkan realitas semakin berlipat. Penanganan hukum juga turut berdampak dari hal ini. Ketika hukum tidak mampu melampaui realitas yang berlari kencang, jalan mundur menjadi pilihan, struktur kelas semakin mencuat, penanganan kasus makin dipengaruhi oleh atas-bawah. Saya merasakan betapa kasus-kasus yang menimpa mereka yang kecil menerima apa adanya. Pertimbangan bisa berbagai macam. Posisi mereka yang bersalah satu hal, dan melakukan perlawanan hal yang lain. Orang yang bersalah sekalipun, dengan kekuatan tertentu bisa melakukan perlawanan.
Hingga kini, kegelisahan seorang tokoh post-positivisme hukum, Donald Black, terasa kian terasa. Apa yang diungkapkannya, seolah masih kontekstual hingga sekarang. Padahal ketika pemikirannya disampaikan, dunia belum gemerlap. Buku “The Behavior of Law” diterbitkan tahun 1976. Sudah hampir setengah abad. Dia menguatkan lagi dengan buku “The Social Structure of Right and Wrong” tahun 1993.
Inti penting dari pemikirannya adalah kehidupan manusia yang tidak terlepas dari strata ekonomi dan kelas sosial. Terkait dengan hukum, ia sangat yakin stratifikasi sangat menentukan seseorang dalam mendapatkan dan memahami hukum. Keberdayaan hukum sangat ditentukan oleh status atau kelas seseorang. Dalam penegakannya, hukum lebih mudah berjalan kepada golongan bawah ketimbang golongan mapan. Dengan posisi demikian, apa yang disebutnya sebagai moral hukum, harus digerakkan.
Alasan inilah, dalam dunia akademis ditegaskan bahwa dalam praktik, penegakan hukum baru berjalan ketika hukum itu digerakkan. Ibarat sebuah mesin motor, semua komponen harus bergerak. Tidak mungkin teks hukum itu yang berbicara sendiri. Teks dalam undang-undang mesti digunakan oleh penegak hukum yang berani. Seandainya teks undang-undang tidak bisa digerakkan, maka ia menjadi kata yang tidak bernilai. Lebih radikal, Scholten menyebut posisi hukum yang tidak bernilai itu sebagai mati.
Maka manusialah yang menentukan hidup atau matinya hukum, bukan teks undang-undang. Undang-undang yang baik dibutuhkan. Akan tetapi patut dicatat, keberanian manusia terkait dengan penegakan hukum dan kebenaran lebih penting lagi. Penegak hukum tidak cukup hanya berlindung di balik kata-kata sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Terlepas bagaimana peraturan perundang-undangan dihasilkan, ia menjadi alat untuk mencapai tujuan hukum. Ada tiga tujuan hukum yang paling penting, yakni kepastian hukum, kemanfaatan, dan keadilan. Ketiga tujuan hukum saling tarik-menarik. Mereka yang hanya mengejar kepastian, tidak selalu akan memenuhi unsur keadilan. Orang-orang yang sangat ketat dengan konsep hukum tertulis, akan menyebutkan bahwa kepastian hukum tidak mesti mempertimbangkan ia akan adil atau tidak.
Debat ini sudah lama berlangsung. Satu pertanyaan yang selalu ditanyakan hingga sekarang, adalah bagaimana hubungan hukum dan keadilan. Dalam kehidupan manusia, apa yang harus diutamakan, hukum atau keadilan. Pertanyaan yang lebih penting adalah apakah hukum itu harus selalu adil?
Para filsuf awal berdebat panjang. Ada yang mengatakan hukum yang tidak adil, pada dasarnya bukanlah hukum. Filsuf lainnya menyebut, bahwa ketika berbicara hukum, tidak ada urusan dengan keadilan. Hukum adalah hukum, dan keadilan adalah keadilan.
Di dunia akademis sendiri, perdebatan ini terkotak dalam tiga. Pertama, akademisi dan pemikir hukum yang konsisten bahwa berbicara hukum tidak ada urusan dengan keadilan. Hukum yang pada akhirnya mendapat nilai keadilan, harus dibedakan dengan hukum yang tidak harus adil. Kedua, akademisi yang konsisten bahwa keadilan mutlak dibutuhkan. Ketika keadilan tidak ada dalam hukum, maka hukum pun tidak bisa disebut sebagai hukum. Ketiga, akademisi dan pemikir hukum yang berdiri dan berbagi kaki. Ketika membutuhkan keadilan, maka akan memperjuangkannya keadilan, sebaliknya jika tidak, akan mengabaikan dan hanya hukum.
Terlepas bagaimana keberpihakan kita terhadap hukum dan keadilan, ada satu ungkapan yang muncul dalam dunia hukum. Fiat justitia ruat caelum, yang diartikan keadilan harus ditegakkan meskipun langit akan runtuh. Sekali lagi, konteks hukum dan keadilan hingga kini terus diperdebatkan. Padahal ungkapan itu diklaim sudah ada sejak 100-43 SM, dari mulut seorang Romawi, Lucius Calpurnius Piso Caesoninus.
Orang-orang yang berani makin dibutuhkan untuk menegakkan hukum dan keadilan, saat realitas sosial sudah melampaui realitas hukum. Keputusan harus diambil saat hukum butuh keberpihakan dan keputusan.