Hukum dan Memikirkan Pembangunan

Diskursus tentang pembangunan, harus dilihat secara luas yang mencakup bagaimana proses interaksi manusia terjadi. Domain pembangunan bukan sesuatu yang hanya didudukan dalam satu ruang yang hampa udara. Domain ini senantiasa berinteraksi –bahkan berkontestasi dengan berbagai …

Diskursus tentang pembangunan, harus dilihat secara luas yang mencakup bagaimana proses interaksi manusia terjadi. Domain pembangunan bukan sesuatu yang hanya didudukan dalam satu ruang yang hampa udara. Domain ini senantiasa berinteraksi –bahkan berkontestasi dengan berbagai domain lain dalam kehidupan sosial berbangsa dan bernegara.

Dalam pembangunan, ada peningkatan interaksi antarmanusia, dengan berbagai kepentingannya. Di sinilah muncul fungsi hukum dalam rangka menjaga hubungan antar anggota masyarakat yang sudah saling berinteraksi secara intens tersebut. Pada saat yang sama, masyarakat juga tampil dengan wajahnya yang semakin kompleks. Pada titik ini, kebutuhan akan hukum semakin tinggi yang dengan sendirinya membutuhkan satu profesi hukum yang akan membantu menjalankan kebutuhan ini. Profesi inilah bukan sembarang orang, melainkan mereka yang terdidik secara khusus dan memahami hukum tersebut. Penekanannya adalah pada posisi hukum sebagai dunia yang esoterik, yang hanya dapat dimasuki oleh mereka yang memiliki keahlian khusus dan terdidik untuk memahami masalah hukum tersebut (Rahardjo, 2006).

Sejumlah pemikir hukum yang saat itu menyumbang pemikirannya untuk perkembangan pemikiran hukum demikian, adalah Dennis Lloyd dan HLA. Hart. Generasi selanjutnya yang memetakan hukum secara tajam melalui bantuan gelombang ilmu sosial, antara lain Philip Selznick. Menurut Bernard L. Tanya, gagasan penting dari Selznick dan Nonet, dengan mengritik analytical jurisrudence atau rechtsdogmatiek adalah tawaran hukum responsif dalam masa transisi. Nonet dan Selznick, lewat hukum responsif, menempatkan hukum sebagai sarana respons terhadap ketentuan-ketentuan sosial dan aspirasi publik. Ia membedakan dengan hukum otonom dan hukum represif (Tanya, Yoan, & Hage, 2010).

Dalam konsepnya, hukum otonom menempatkan hukum sebagai pranata yang setia menjaga kemandirian hukum itu sendiri. Karena sifatnya yang mandiri, maka yang dikedepankan adalah pemisahan yang tegas antara kekuasaan dengan hukum. Legitimasi hukum ini terletak pada keutamaan prosedur hukum yang bebas dari pengaruh politik melalui pembatasan prosedur yang sudah mapan. Sedangkan hukum represif, memaksudkan hukum sebagai alat kekuasaan represif yang bertujuan mempertahankan status quo penguasa dengan dalih menjamin ketertiban (Tanya, Yoan, & Hage, 2010; Nonet & Selznick, 2013).

Atas posisi demikian, maka hukum responsif bisa digolongkan ke dalam sociological jurisprudence (dan realist jurisprudence). Sociological jurisprudence adalah pendekatan filosofis terhadap hukum yang menekankan pada upaya rancang bangun hukum yang relevan secara sosial. Sociologial jurisprudence merupakan ilmu hukum yang menggunakan pendekatan sosiologis, yang memberi perhatian pada dampak sosial yang nyata dari institusi, doktrin, dan praktik hukum (Tanya, Yoan, & Hage, 2010).

Jadi sejak saat itu, Satjipto Rahardjo sudah memetakan berbagai ruang yang menimbulkan interaksi hukum kian tinggi, terutama masa pembangunan awal Orde Baru, yakni masuknya modal luar negeri, berubahnya susunan pemilikan tanah, penyediaan tanah bagi pembangunan, serta berbagai kebutuhan anggota masyarakat yang bermigrasi dari satu tempat yang sepi proyek pembangunan menuju kawasan yang sedang melonjak proyek pembangunannya.

Sejak saat itu sudah diingatkan bahwa akan banyak masalah hukum yang muncul ke permukaan. Apalagi pada masa itu, masyarakat masih hidup dengan nilai-nilai kebersamaan dan saling percaya yang tinggi. Bagi masyarakat, kebutuhan tanah dalam kapasitas tertentu tidak dianggap sebagai sebuah masalah. Tidak ada ketentuan yang ketat, misalnya terkait dengan bagaimana masyarakat ketika menyumbang tanahnya untuk dibuat jalan. Namun intensitas pembangunan, yang mana membutuhkan tanah yang tidak sedikit, dan tanah yang dibutuhkan tidak selalu untuk kepentingan umum, melainkan juga untuk swasta yang menggerakkan proyek pembangunan, maka masalh menjadi lain. Pada masa awal, seolah-olah swasta diperlakukan sebagai tamu khusus yang menjawab semua masalah, termasuk di dalamnya masalah hukum. Ternyata setelah beberapa waktu disadari, bahwa swasta tanpa batas juga akan menimbulkan masalah tersendiri.

Era belakangan, tamu-tamu terhormat itu dinamakan sebagai penanam modal dan investor. Mereka yang menyedia modal, bagi mereka yang sedang membutuhkan modal. Berbagai upaya dilakukan: merayu, agar para pemberi modal akan menanamkan modalnya di tempat yang diinginkan. Alasannya untuk membangun.  Sayangnya, kerap berbagai batasan dilabrak, hanya demi modal yang atas nama pembangunan itu.

Leave a Comment