Fakta yang bisa menjadi penunjuk bagi kondisi dualisme hukum di era Hindia Belanda adalah melalui Pasal Peralihan Undang-Undang dasar 1945 (UUD 1945). Dalam Pasal Peralihan tersebut, dapat tergambar kehidupan hukum di Indonesia. Menurut Satjipto Rahardjo, dualisme hukum dapat disebut sebagai sistem hukum yang pluralistis pada zaman penjajahan yang masih berlaku untuk Indonesia yang sudah merdeka. Komponen penting dari pluralistis adalah berlakunya hukum Eropa di satu pihak dan di lain pihak hukum yang berkesuaian dengan adat dan kebiasaan orang Indonesia (Rahardjo, 1980).
Sejak kemerdekaan, dualisme hukum antara hukum adat dan hukum Eropa, telah banyak menyita perhatian para ahli hukum Indonesia. Salah satu yang sangat penting diperbincangkan adalah mengenai tempat dari hukum adat dalam susunan tata hukum Indonesia. Sebagaimana diuraikan sebelumnya, muncul pendapat mengenai pencirian hukum adat sebagai jenis hukum yang tidak lagi terikat kepada adat dan kebiasaan lama, melainkan jenis hukum di Indonesia yang senantiasa menyesuaikan diri dengan perkembangan masyarakat modern (Rahardjo, 1980).
Pada dasarnya, konsep dan bagaimana terkait dengan hukum modern sebagai implikasi dari masyarakat modern, juga sudah diuraikan pada tulisan sebelumnya. Kondisi apa yang disebut Satjipto Rahardjo, sungguh tidak terjadi dengan sendirinya. Menurut Soetandyo Wignjosoebroto, ada satu kekuatan besar yang sepertinya tidak bisa dibendung, dengan apa yang disebutnya sebagai modernisasi. Kondisi modern menyebabkan modernisasi dianggap sebagai sesuatu yang tidak bisa dibendung. Modernisasi tersebut sebenarnya telah dimulai dari perubahan-perubahan yang penuh krisis di Eropa Barat abad ke-18, dengan mengubah model kehidupan lokal dan agraris-feodalistik menuju kehidupan yang sentralistik dan mulai bertumpu di atas basis industri yang kapitalistik. Kondisi antara lain menyebabkan terjadi transformasi sistem hukum dari lisan namun substantif ke arah hukum tertulis, formal, dan menjamin kepastian (Wignjosoebroto, 2013).
Pada awal Orde Baru, gejala demikian menguat, terutama terkait dengan gerakan pembangunan yang dicanangkan. Mengantisipasi kondisi tersebut, Indonesia membutuhkan pranata hukum agar menjamin pembangunan tetap berlangsung sesuai garisnya.
Dalam konteks ini, hukum merupakan sarana pembaruan masyarakat didasarkan atas anggapan bahwa adanya keteraturan dan ketertiban dalam usaha pembangunan atau pembaharuan itu merupakan sesuatu yang diinginkan atau bahkan dipandang perlu. Konsepsi hukum sebagai saran pembangunan dapat juga dimaknai sebagai kaidah atau peraturan hukum yang berfungsi sebagai pengatur atau sarana pembangunan yang menentukan arah kegiatan pembangunan atau pembaharuan yang dikehendaki (Kusumaatmadja, 2002).
Sesuai dengan perkembangan pembangunan, maka dapat dikatakan bahwa peranan hukum dalam dalam pembangunan ingin menegaskan bahwa pembangunan tersebut dapat dicapai sesuai dengan yang telah ditetapkan atau diprogramkan (Salam & Susanto, 2004).
Satjipto Rahardjo mengingatkan bahwa pembangunan hukum itu sendiri mengandung makna ganda. Pertama, ia bisa diartikan sebagai suatu usaha memperbaiki hukum positif sehingga sesuai dengan kebutuhan untuk melayani masyarakat pada tingkat perkembangannya yang mutakhir, suatu pengertian biasanya disebut modernisasi hukum. Kedua, ia bisa diartikan sebagai usaha untuk memungsionalkan hukum dalam masa pembangunan, yaitu dengan cara turut mengadakan perubahan-perubahan sosial sebagaimana dibutuhkan masyarakat (Rahardjo, 2009).
Dalam konteks demikian, maka diskursus yang mendikotomikan tidak bisa dihindarkan. Menurut Szyman Chodak (1979), perhatian dari pengkaji hukum banyak berkisar di sekitar pembagian secara dikotomis, yaitu tradisional atau sedang berkembang di satu pihak, dan modern dan maju di pihak lain. Perbedaan dua kutub dalam dikotomi tersebut pada dasarnya bertolak dari suatu tatanan kehidupan yang memberikan hubungan tatap muka dan kelekatan seorang anggota masyarakat kepada yang lain, berhadapan dengan hubungan antar anggota masyarakat dalam tata kehidupan yang lebih luas. Beberapa dikotomi terkenal tampak, kondisi beserta konsep yang dibangun secara dikotomis, yakni: Primery-secondary groups (Charles H. Cooley), gemeinschaft-gessellschaft (Ferdinan Toennies), mechanic-organic solidarities (Emile Durkheim), status-contract (Henry Meine), Folk-urban (Robert Redfield), Sacred-secuter (Howard Becker), communal-associational (Fx Sutton). (Rahardjo, 2009).
Dikotomi tersebut hingga sekarang masih dapat dirasakan. Keadaan ini yang diyakini Satjipto Rahardjo sebagai bentuk dari gambaran bahwa hukum adat masih mendapat tempat. Hukum adat masih merupakan bagian dari struktur sosial masyarakat Indonesia. Penerimaan hukum adat sejauh mungkin sesuai/menunjang politik hukum yang dijalankan.