Hukum Nir Keadilan

Dugaan menggunaan pasal tertentu untuk kepentingan tertentu, bukan tidak pernah terjadi dalam realitas berhukum. Dan hal ini memungkinkan terjadi dalam kajian ilmu hukum. Diskursus perdebatan lama dalam ilmu hukum, antara lain dengan tarik menarik dalam …

Dugaan menggunaan pasal tertentu untuk kepentingan tertentu, bukan tidak pernah terjadi dalam realitas berhukum. Dan hal ini memungkinkan terjadi dalam kajian ilmu hukum. Diskursus perdebatan lama dalam ilmu hukum, antara lain dengan tarik menarik dalam melihat tujuan hukum, antara kepastian, kemanfaatan, dan keadilan. Ada satu pendapat lama yang diungkapkan seorang filsuf positivisme hukum berkebangsaan Jerman, Gustav Radbruch, melihat hal tersebut tidak sebagai tujuan hukum, melainkan sebagai nilai dasar hukum yang sulit untuk disatukan. Ketiganya (kepastian, kemanfaatan, keadilan) memiliki cara berhukum dan orientasi yang berbeda.

Melalui tulisan singkat ini saya ingin melihat nilai dasar kepastian hukum yang kemudian sering disalahtafsirkan seolah-olah hanya mengejar target ketertiban saja. Hukum pada posisi ini, jika ditelusuri sejak abad ke-17, dikelompokkan ke dalam cara berhukum yang mekanistik. Hukum dianggap sama seperti mesin yang serba bisa dalam bekerja dan tidak dipengaruhi realitas sosial, politik, ekonomi, bahkan budaya.

Cara pandang mekanistik hukum ini, dipengaruhi cara berpikir Rene Descartes (1596-1650) dan Isaac Newton (1642-1726), yang digunakan pemikir hukum untuk melihat hukum dalam makna tertentu. Disebut mekanistis karena seluruh alam semesta dan juga manusia, dilihat dengan rumus mekanis. Dilihat semacam mesin yang bisa bekerja secara mekanistis dan bisa dianalisis dan diprediksi secara terpisah dari keseluruhan yang membentuknya (Susanto, 2010).

Sejumlah asumsi hukum yang mekanistik, antara lain melihat hukum benar-benar objektif dengan memosisikan dualisme dalam membagi realitas (subjek dan objek). Di samping itu, mekanistik dibangun atas dasar asumsi bahwa alam semesta semata-mata dipandang sebagai mesin yang mati tanpa makna simbolik dan kualitatif, tanpa nilai, tanpa cita rasa etis dan estetis.

Cara pandang hukum yang demikian, memandang bahwa suatu realitas yang tidak mengandung isi moral dan menganggap penilaian moral sebagai sesuatu yang menghambat efisiensi dan efektivitas. Dengan bahasa yang sederhana, menganggap ada kaitan dengan moral, akan menyulitkan bagi para pihak dalam berhukum.

Apa yang diingatkan kepala kepolisian, untuk mendalami terlebih dahulu kasus yang dilaporkan terkait UU ITE, sepertinya mengindikasikan agar melihat hukum secara utuh. Penegakan hukum idealnya memang tidak hanya berdasarkan pada tujuan kepastian saja, tetapi turut melihat aspek kemanfaatan dan keadilan.

Kondisi ini, dalam kajian ilmu hukum, terkait konteks cara berhukum, pada satu sisi dihadapkan orientasi kepatuhannya, namun pada sisi lain, jika tidak hati-hati, dihantui oleh menggunakan hukum tidak untuk kepentingan hukum itu sendiri.

Hal yang menggelisahkan saat melihat dalam tiga tahun terakhir, kita menyaksikan bagaimana suasana saling lapor terjadi dalam masyarakat kita. Hukum itu terkesan sudah terlihat bekerja seperti mesin yang hanya menjalankan sesuai dengan rumus teks yang tidak jarang ditafsirkan secara sepihak saja. Pada saat yang sama, hukum juga kerap memperlihatkan kontradiksi. Tidak semua laporan ternyata ditindaklanjuti. Dalam realitas penegakan hukum, bisa saja penegak hukum memiliki pandangan tersendiri.

Lantas apa yang mau dikejar dalam hukum dan berhukum? Mereka yang hanya bekerja secara formal, seperti mesin yang digerakkan dan sudah terpasang dalam rumus-rumusnya, hanya mementingkan kepastian dengan melupakan ada keadilan dan kemanfaatan di dalamnya. Sedangkan hukum yang utuh, tidak mungkin melupakan nilai dan moral sebagai kekuatan penting dari keadilan dan kemanfaatan.

Leave a Comment