Hukum sebagai Produk Budaya

Saat berbicara tentang hukum, sungguh ia tidak bisa dilepaskan dari banyak aspek dalam kajiannya. Posisi hukum sebagai produk budaya, adalah salah satunya. Hukum yang ada di negara mana pun, pada dasarnya menjadi cermin dari budayanya …

Saat berbicara tentang hukum, sungguh ia tidak bisa dilepaskan dari banyak aspek dalam kajiannya. Posisi hukum sebagai produk budaya, adalah salah satunya. Hukum yang ada di negara mana pun, pada dasarnya menjadi cermin dari budayanya masing-masing. Termasuk serpihan-serpihan hukum Eropa yang menjadi bagian penting bagi hukum kita.

Ketika dengan penuh kesadaran ada tradisi hukum tertentu yang diwariskan ke negara tertentu, maka pada dasarnya yang diwariskan itu tidak saja pada hukum an sich. Warisan itu juga tercampur dengan kultur, dalam hal ini kultur kolonial. Dengan alasan ini yang mempertegas kondisi ideal menjadikan hukum sendiri karena bagian kultur kita.

Hal ini jauh-jauh hari diingatkan Kartohadiprodjo, yang menyebutkan bahwa pada dasarnya manusia Indonesia menyadari dan bisa membedakan yang mana yang Indonesia dan yang mana yang Barat. Namun pengaruh Barat sepertinya memang tidak bisa dihindari (Kartohadiprodjo, 2009).

Masalahnya kesadaran saja ternyata tidak cukup. Seperti disebutkan Kartohadiprodjo, bahwa meskipun dapat diakui sebagai suatu kenyataan bahwa kita sebagai bangsa merupakan pembawa warisan yang diwariskan oleh nenek-moyang kita, warisan yang selain berupa benda material, tetapi pula lebih-lebih yang bersifat spritual, sebaliknya tidak dapat disangkal dan merupakan suatu kenyataan pula, bahwa dalam perkembangan zaman kita tidak luput dari pengaruh dari luar. Yah, bahkan sebagai akibat dari penjajahan yang kita alami dari bangsa Barat, pengetahuan dan cara berfikir yang kita miliki, tidak terkecuali dalam bidang sosialnya, sebagian besar asalnya dari Barat (Kartohadiprodjo, 2009).

Terkait dengan kondisi demikian, maka ada kaitan apa yang disebut sebagai hukum itu dengan model dunia yang berlaku di Barat. Orientasi hukum modern telah menjadi satu hal yang biasa dan dianggap bukan sesuatu yang patut dipermasalahkan. Makanya hukum sebagaimana diterima dan yang dijalankan di negara-negara di dunia sekarang ini, pada umumnya termasuk ke dalam kategori hukum modern. Hukum modern tersebut berkembang dari dulu hingga kepada keadaannya sekarang ini. Hal ini setidaknya terkait dengan proses bagaimana masyarakat diorganisasikan, yang di dalamnya termasuk mengorganisasikan hukumnya (Rahardjo, 2006).

Dengan mengutip Poggi, Satjipto Rahardjo menyebutkan bahwa perkembangan hukum modern tidak dapat dilepaskan dari perkembangan dan pertumbuhan masyarakat modern. Perkembangan yang dahulu bersumber dari Eropa merupakan prasyarat bagi munculnya perkembangan masyarakat serta hukum di kemudian hari, di Indonesia. Poggi membagi perkembangan struktur sosial masyarakat menjadi lima tahap, yakni: feodalisme, standestaat, absolutisme, masyarakat sipil (civil society), dan Negara Konstitusional (Rahardjo, 2006).

Bersandar pada apa yang diungkapkan Satjipto Rahardjo, maka hukum modern pada dasarnya tumbuh dan berkembang dalam suatu masyarakat tertentu. Ia bukan serta-merta jatuh dari langit yang tidak ada hubungan dengan geografis tertentu. Di samping itu, karena ia tumbuh dan berkembang dari masyarakat tertentu, sudah tentu ia juga bagian dari budaya masyarakat yang bersangkutan.

Tahapan yang diungkapkan Poggi di atas, pada dasarnya mencerminkan dari kaitan tersebut. Menurutnya, satu kondisi selalu terbentuk atau tercetus dari satu kondisi yang lain. Feodalisme muncul sebagai jawaban atas kekacauan yang timbul karena runtuhnya Kerajaan Romawi. Lalu memunculkan anarki. Feodalisme memunculkan standestaat. Ketika kondisi ini makin kuat, muncul apa yang dinamakan absolutisme. Reaksi atas absolutisme ini memunculkan civil society, yang mencapai puncaknya dengan terbentuknya Negara Konstitusional dengan hukum modernnya.

Sepanjang perjalanan itu, pada dasarnya perkembangan budaya berjalan beriringan dengan kondisi masyarakat yang membentuknya.

Leave a Comment