Hukum Undang-Undang

Bahasan negara hukum pada akhirnya tidak bisa dipisah-kaitkan dengan mazhab-mazhab. Dan salahnya adalah mazhab positivisme hukum, yang dapat dipahami sebagai satu rangkaian perkembangan pikir hukum yang berbasis pada perjalanan zaman. Semua mazhab hukum memiliki eranya …

Bahasan negara hukum pada akhirnya tidak bisa dipisah-kaitkan dengan mazhab-mazhab. Dan salahnya adalah mazhab positivisme hukum, yang dapat dipahami sebagai satu rangkaian perkembangan pikir hukum yang berbasis pada perjalanan zaman. Semua mazhab hukum memiliki eranya masing-masing, sebagai gambaran sekaligus penegasan sebagai latar belakang dari bangunan mazhab tersebut.

Menurut Satjipto Rahardjo, hal yang harus dilihat dalam perkembangan tersebut adalah perkembangan dunia abad kesembilan belas. Abad kesembilan belas menandai munculnya gerakan positivisme dalam ilmu hukum. Abad tersebut menerima warisan pemikiran-pemikiran dari masa-masa sebelumnya yang bersifat idealistis, seperti halnya hukum alam. Dalam pada itu, perkembangan dan perubahan-perubahan yang terjadi dalam mastarakat pada abad kesembilan belas tersebut telah menimbulkan semangat serta sikap yang bersifat kritis terhadap masalah-masalah yang dihadapi (Rahardjo, 2006).

Jika berangkat dari cara berpikir bahwa setiap mazhab memiliki latarnya tersendiri, maka postivisme hukum pun dalam melahirkan domain hukum undang-undang merupakan satu titik perkembangan pemikiran di eranya. Istilah hukum undang-undang sebagai hukum nasional, merujuk pada standar hukum sebagai rujukan sentral warga negara, dimana hukum tersebut dibentuk secara sengaja dan rasional melalui kesepakatan badan legislatif. Pada zaman penjajahan, produk demikian kemudian diumumkan dalam “Staatsblad” yang kini disebut dengan “Lembaran Negara”. Sedangkan penyiaran produk, dalam praktik hukum secara teknis disebut dengan “diundangkan” (Wignjosoebroto, 2000).

Menurut Soetandyo Wignjosoebroto, hukum undang-undang adalah hukum tulis invensi bangsa Barat ketika kehidupan di Barat mengalami proses sekularisasi menuju kehidupan bernegara bangsa. Sebelumnya selama berabad, negara-negara Eropa Barat hidup terkotak-kotak dalam pilahan ratusan komunitas yang dikuasai dan dikontrol oleh para penguasa lokal. Perubahan besar terjadi di Eropa Barat abad ke-17 seiring muncul Era Reinassance, yang membawa perubahan sosial politik ke bentuk yang baru. Rasionalitas berimplikasi kepada ajaran kontrak sosial yang menyatakan hukum yang berlaku berupa hukum yang dihasilkan dari kesepakatan. Salah satu tokoh penting adalah Jean-Jacques Rousseau (1712-1778), yang mengritik Raja Louis XIV (1643-1715). Menurut Rousseau, berdasarkan teori kontrak sosial bahwa kekuasaan raja bersumber dari hasil kesepakatan rakyat (Wignjosoebroto, 2000).

Pada abad ke-19 menandai munculnya gerakan positivisme dalam ilmu hukum dan abad tersebut menerima warisan pemikiran dari masa sebelumnya yang bersifat idealistis (Dimyati, 2005; Rahardjo, 2006).

Bernard Arief Sidharta, membagi positivisme hukum ke dalam tiga –apa yang disebutnya dengan —tradisi, sebagai berikut (Sidharta, 2000):

Pertama, Teori hukum analitik, yang lebih kurang bermula pada murid dari Jeremy Bentham, yakni John Austin (1790-1861).  Menurut Austin, hukum hanya undang-undang, tidak ada di luar undang-undang (Rumble, 1995; Mindus, 2013). Untuk menentukan apa hukum itu, Austin menggunakan “principle of origin” (asas sumber), artinya ditelusuri di mana hukum itu menemukan sumbernya. Hukum itu dapat ditemukan dalam undang-undang yang ditetapkan oleh penguasa yang berdaulat. Hukum positif itu ditetapkan hanya oleh yang berdaulat (Armia, 2003).

Kedua, apa yang dikembangkan Hans Kelsen (1881-1973). Dalam “Reine rechtslehre” ini, hukum dipandang sebagai “normative Zwangsordnung menschlichen Verhaltens” (tatanan paksaan normatif dalam perilaku manusia). Hukum adalah suatu sistem kaidah-kaidah. Sebuah kaidah adalah “der objektive Sinn eines Willenaktes, der intentional auf menschliches Verhalten gerichtet ist” (arti objektif suatu tindakan kemauan yang secara intensional tertuju pada perilaku manusia). Dengan itu, menurut Kelsen, arti dari hukum terletak pada sifat normatif ini. Sistem hukum memperoleh makna normatifnya hanya dari kaidah-kaidah lain (yang lebih tinggi), karena berpegangan teguh pada pemisahan (Kantian) antara sein dan sollen. Tata hukum adalah suatu sistem hierarkhikal dari kaidah-kaidah. Pada keseluruhan ini terdapat apa yang dinamakan Grundnorm sebagai landasannya, yang memiliki terutama makna metodikal. Menurut Shiddiq, Kelsen menolak ajaran yang bersifat ideologis dan hanya menerima hukum sebagaimana adanya, yaitu dalam bentuk peraturan-peraturan yang ada. Menurut Kelsen, Teori Hukum Murni adalah teori tentang hukum positif. Ia berusaha untuk mempersoalkan dan menjawab pertanyaan, ”Apakah hukumnya?” dan bukan bagaimanakah hukum yang seharusnya. Keadilan sebagimana lazimnya dipersoalkan, dikeluarkan dari ilmu hukum, ia adalah konsep ideologis, suatu ideal yang irasional (Armia, 2003).

Ketiga, Teori hukum empirik. Tesis terpenting dari teori hukum ini adalah bahwa ilmu hukum itu seyogianya diemban sebagai suatu ilmu empirik. Itu berarti antara lain bahwa hukum itu –dipandang sebagai data empirik—dipaparkan dan dijelaskan. Untuk itu, maka pengertian hukum itu harus dioperasionalisasikan, artinya harus dibuat cocok untuk pengolahan ilmiah ini.

Leave a Comment