Modernisasi hukum dapat dipandang sebagai suatu kajian yang menarik. Dalam teori-teori sosiologi makro, konteks modernisasi selalu harus dilihat dalam waktu yang panjang dan kompleks. Melibatkan banyak institusi, dengan memahami berbagai keterkaitan dari subsistem-subsistem di dalamnya. Termasuk juga dengan banyak pemangku kepentingan –bila domainnya dibatasi dengan berawal dari hukum.
Modernisasi hukum pada dasarnya adalah unifikasi dan posivisasi hukum Eropa ke hukum pribumi dengan sistem hukum yang tunggal. Proses tersebut pada dasarnya dilakukan oleh negara Eropa di tanah jajahan sebagai bentuk menundukkan secara total penduduk negara jajahan.
Sejumlah konsep disebutkan oleh pemikir hukum sebelumnya. Marc Galanter menyebut kondisi unifikasi dan positivisasi dari konsep Eropa sebagai duplikasi hukum Eropa di tanah jajahan. Duplikasi dalam bentuk transferable law, seyogianya bukan sesuatu yang mudah. Robert Siedman mengingatkan bahwa ketika suatu hukum ditranplantasikan ke masyarakat yang berbeda, maka hukum yang ditransplantasikan tersebut tidak mungkin diharapkan akan dapat secara efektif sebagaimana efektifnya hukum di tempat asal. Siedman menyebut kondisi itu sebagai bahwa hukum itu tidak dapat ditransfer dari budaya asing tanpa mengikutsertakan seluruh jaringan sistem institusional yang menjadi konteksnya. Dari sinilah lahir dalil Siedman, law of the non-transferability of law, setelah Siedman melakukan kajian tentang transplantasi hukum administrasi Inggris ke daerah jajahan di Afrika (Wignjosoebroto, 2013; Wignjosoebroto, 1995).
Merujuk pada apa yang diuraikan oleh Profesor Soetandyo Wignjosoebroto –seorang guru besar dari Universitas Airlangga, maka sesungguhnya ada perbedaan antara Indonesia sebagai bekas jajahan dengan negara yang menjajah. Konsep hukum yang pernah dijalankan oleh pemerintahan jajahan tidak bisa langsung transfer kepada negara jajahan. Inilah antara lain diingatkan Robert B. Siedman yang menyimpulkan sebuah prinsip hukum, The Law of Non-transferability of Law. Siedman berpendapat hukum tidak tertentu tidak bisa ditransfer ke masyarakat lainnya tanpa mengikutkan seluruh jaringan sistem institusional yang menjadi konteksnya (Wignjosoebroto, 2013; Rahardjo, 1980; Wignjosoebroto, 1994).
Apa yang diungkapkan oleh Siedman, berdasarkan kajian dalam konteks hukum administrasi Inggris yang tumbuh dan berkembang dalam sejarah nasionalnya dengan asas rule of law, ditransplantasikan ke daerah yang terbiasa bekerja secara otokratik. Waktu itu, Siedman mencoba untuk menjawab pertanyaan: apakah yang akan terjadi apabila norma-norma hukum itu dipinjam dari negara-negara yang lebih maju. Menurut Siedman, pemegang peranan di dalam masyarakat dalam bertindak, harus dilihat di dalam hubungan dengan fungsi dari faktor yang berhubungan dengan peranan yang diharapkan dari seseorang itu. Dan fungsi-fungsi tersebut: (a) peraturan-peraturan yang ditujukan kepadanya; (b) sanksi-sanksi peraturan tersebut; (c) aktivitas-aktivitas lembaga penerap seperti polisi, jaksa, dan sebagainya; (d) keseluruhan konteks sosial, politik, ekonomi, dan lain-lain kekuatan yang mempengaruhi (Wignjosoebroto, 2013).
Alasan modernisasi hukum itulah yang membuat politik penyatuan sistem hukum nasional dilakukan. Walau penyatuan sendiri pada dasarnya mengabaikan fakta kemajemukan hukum adat yang berformat lokal (Wignjosoebroto, 2011). Seharusnya, berangkat dari pemahaman fakta hukum secara utuh dari bangsa kita. Kondisi kemajemukan yang bisa jadi oleh sebagian pihak dianggap abstrak, namun terlihat nyata di hadapan mata kita.
Berdasarkan gambaran tersebut, pada dasarnya realitas kemajemukan hukum tidak mungkin ditampik. Bahkan, misalnya penggunaan norma-norma yang sama berikut sanksinya, harusnya ditempatkan dalam konteks tertentu serta waktu dan tempat tertentu. Penggunaan pada konteks, waktu, dan tempat yang berlainan, di samping juga lembaga penerap sanksi yang berlainan, serta kompleksitas sosial, politik, ekonomi, dan kekuatan lain yang berbeda pula, maka apa yang diharapkan tidak akan sama begitu saja.