Hukuman Mati dari Pengadilan Idi

Empat terdakwa sabu divonis mati oleh Pengadilan Negeri Idi (Serambi, 7/10/2021). Berita ini tampil sebagai headline. Penempatannya di halaman utama dengan ukuran huruf judulnya yang menyolok, menggambarkan titik perhatian besar media ini. Kabar narkoba, terutama …

Empat terdakwa sabu divonis mati oleh Pengadilan Negeri Idi (Serambi, 7/10/2021). Berita ini tampil sebagai headline. Penempatannya di halaman utama dengan ukuran huruf judulnya yang menyolok, menggambarkan titik perhatian besar media ini.

Kabar narkoba, terutama sabu menghiasi berita media selama ini. Dalam dua hari terakhir, kabar narkoba juga diperkuat dengan informasi lain. Kabar perputaraan uang yang diduga dalam lingkaran jaringan sabu berdasarkan transaksi yang dipantau oleh Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) mencapai 120 triliun dalam lima tahun terakhir.

Bisnis haram ini juga sepertinya turut bergeser ke mafia-mafia kampung. Jika kita masuk ke kampung-kampung, desas-desus terdengar tentang bagaimana agen-agen kecil narkoba masuk ke lorong-lorong kampung. Karena ini desas-desus, ia akan seperti (maaf) kentut. Kita merasakan aromanya, tanpa bisa mempertanggungjawabkan fisiknya.

Bisnis haram dengan pola kecil ini, dalam skala yang luas, ia juga akan berdampak masif. Bisa jadi ia beredar dari satu lorong ke lorong lain. Namun ketika akhirnya dikalkulasi, dampaknya seperti bom atom yang akan meledak pada saatnya nanti.

Temuan sabu yang beruntun dan dalam jumlah yang bervariasi selama ini, terang-benderang bisa disimpulkan ia sepertinya sangat dekat dengan kehidupan kita. Penegak hukum memiliki peran utama dan riskan. Sebagai representasi dari negara dengan kekuatan penuh, penegak hukum tidak mungkin bergerak sendiri. Informasi dari masyarakat sangat penting. Namun proses ini bukan tanpa hambatan. Itulah yang saya sebut sebagai riskan. Di satu sisi, bagaimana meyakinkan masyarakat untuk terbuka. Di sisi lain, butuh kepercayaan agar masyarakat yang membuka informasi itu yakin dan merasa akan terlindungi dengan baik.

Keadaan semacam ini, tampak bahwa realitas narkoba harus dilihat dengan perspektif yang terbuka dan luas.

 

Tiga agenda

Saya belum pernah meneliti secara luas terkait realitas narkoba di Aceh. Saya baru menulis sejumlah artikel berbasis pada informasi yang masih terbatas. Dengan posisi ini, tentu informasi yang saya peroleh masih belum utuh.

Dalam satu diskusi formal, saya sempat berdiskusi dengan sejumlah aktivis yang menyebutkan banyak hal tidak bisa dibuka ke publik secara vulgar. Banyak perkembangan sudah terlihat. Kasus-kasus dan pelaku yang semakin banyak tertangkap menggambarkan usaha untuk melakukan penegakan hukum terus dilakukan. Dengan tidak mengabaikan bahwa penegakan hukum sendiri juga harus terus berbenah memperbaiki diri. Sisi internal dalam penegakan hukum, masih terjadi kasus-kasus yang melibatkan adanya oknum yang bermain. Kasus baru-baru ini penegak hukum yang menjual barang bukti, adalah salah satunya.

Sisi eksternal, tantangan besar juga harus mendapat perhatian, terkait bagaimana bisnis haram ini terus berkembang melampaui bisnis biasa. Para mafia terus belajar atas berbagai kegagalan. Mereka terus berusaha untuk melampaui dari kesiapan dari aparatur negara.

Maka kasus di atas, seyogianya juga harus dilihat dalam pertarungan antara negara dengan mafia. Saya melihat kasus semacam ini, tidak mungkin melepaskan diri dari tiga agenda besar yang harus dilakukan. Pertama, kasus-kasus yang sudah berlangsung selama ini, sering tidak bisa menjangkau pihak-pihak yang vital dalam bisnis haram. Jika yang sudah dihukum baru menjangkau perantara, maka kerja keras masih dibutuhkan untuk menemukan para pihak yang terkait dengan barang bukti yang ada.

Kedua, putusan ini masih pada tingkat pertama, yang seyogianya jika kemudian akan berlanjut ke tingkat berikutnya, negara juga memiliki kesiapan untuk membuktikannya. Masih ada peluang untuk dilakukan banding dan kasasi. Pada tingkat ini, proses pembuktian juga sangat penting karena dalam sejumlah kasus, putusan tingkat pertama dengan putusan tingkat lanjut, ada yang berbeda.

Ketiga, proses menalar terkait bagaimana narkoba mampu menghancurkan generasi Aceh, menjadi bagian penting seiring dengan upaya penegakan hukumnya. Justru tantangan dalam memberi pemahaman dan kesadaran tidak kalah beratnya. Ketika pada posisi sadar, masyarakat semakin proaktif dalam bergerak untuk memberikan informasi kepada penegak hukum.

 

Jalan ketiga

Atas dasar itulah, sebagai orang yang bisa jadi tidak memahami persis keadaan lapangan secara utuh, saya ingin menawarkan sejumlah jalan yang mungkin bisa bermanfaat. Pertama, kebijakan penegakan hukum harus berjalan seiring dengan kebijakan pemerintahan secara umum. Jangan sampai kebijakan terkait dengan penegakan hukum, tidak nyambung dengan kebijakan lain yang mendukung proses-proses penegakan hukum narkoba. Dalam hal ini, pemerintah dan penegak hukum harus berkoordinasi secara aktif dan intensif, untuk saling memberikan input hal-hal yang dibutuhkan terkait dengan kebijakan tertentu.

Kedua, proses komunikasi secara lebih luas antara berbagai elemen dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Narkoba harus disadari sebagai salah satu alat yang paling mudah untuk menghancurkan bangsa. Narkoba menjadi salah satu saluran untuk membuat rapuh pertahanan bangsa. Penguatan mentalitas dengan kesadaran, pemahaman, dan peran aktif dalam penanggulangan narkoba, sangat penting untuk terus dilakukan.

Ketiga, kasus-kasus yang ada harus menjadi bahan pembelajaran bagi kita. Tawaran saya untuk melihat satu kasus secara utuh dan kompleks, sangat penting dalam rangka pembangunan mentalitas bangsa masa depan. Jika kasus di atas menghukum mati tiga terdakwa, dibuktikan secara sah dan meyakinkan atas keterlibatan mereka sebagai perantara. Maka pertanyaannya adalah bagaimana dengan para pihak lain yang terkait, terutama para penitip dan pihak yang menjadi sasaran barang titipan itu.

Sebelumnya juga sudah pernah diputuskan hukuman mati terhadap seorang perempuan yang bertugas sebagai penyambung jejaring (Serambi, 4/7/2020). Suaminya sedang berada di penjara, yang dahsyatnya ia menjadi pengendali dari bisnis haram itu (“Pengendali Narkoba dari Dalam Penjara”, Serambi, 25/7/2020).

Mur dihukum mati karena dianggap memiliki peran penting terkait bisnis penjara. Ia menjadi penghubung antara suaminya dan para mafia sabu. Faisal sebagai pengendali utama, telah dihukum 18 tahun penjara. Dari kasus itu, ternyata tidak sepenuhnya berkembang hingga tuntas hingga bisa terungkap seluruh mata rantai. Tentu harus diakui, juga bukan hal yang mudah untuk menuntaskan itu.

Melihat kasus dalam perspektif yang luas sangat penting agar sebuah kasus tidak hanya menjangkau sejumlah pihak. Diharapkan berbekal pada kasus yang ada, menjadi momentum bagi penegak hukum untuk menemukan seluruh mata rantai yang terlibat.

Sekali lagi, dengan tidak melupakan perjuangan keras para penegak hukum, bahwa posisi menjangkau seluruh mafia sangat penting. Mungkin saja ada mafia yang gemar memberi sumbangan sosial, namun itu tidak menghindari posisi mereka sebagai penghancurkan bangsa. (st_aceh@yahoo.co.id)

 

Dimuat Serambi Indonesia, Senin, 11 Oktober 2021.
https://aceh.tribunnews.com/2021/10/11/hukuman-mati-dari-pengadilan-idi

 

Leave a Comment