Iklim Kehidupan

Dunia kita sekarang sedang dalam masa pancaroba. Ada masalah iklim yang berubah-ubah. Demikian juga dengan iklim kehidupan, yang sulit untuk ditebak. Seperti halnya perubahan iklim alam, perubahan iklim sosial juga luar biasa terjadi. Salah satu …

Dunia kita sekarang sedang dalam masa pancaroba. Ada masalah iklim yang berubah-ubah. Demikian juga dengan iklim kehidupan, yang sulit untuk ditebak. Seperti halnya perubahan iklim alam, perubahan iklim sosial juga luar biasa terjadi. Salah satu yang terjadi di banyak tempat adalah persekusi.

Kita dihinggapi penyakit, sesuatu yang baik dan buruk, benar dan salah, tidak lagi dirujuk ke tempat yang sebenarnya. Semuanya sangat ditentukan oleh bagaimana orang-orang bersuara. Ironisnya, suara itu tidak selalu hadir sebagai wajah dari orang kebanyakan, melainkan hanya digunakan beberapa orang saja yang mengatasnamakan publik yang lebih luas.

Hal yang mengerikan adalah perbuatan baik yang kemudian disalahkan oleh sebagian orang. Orang-orang yang melakukan sesuatu yang baik, lalu secara semena-mena dikampanyekan seolah-olah seorang penjahat besar yang melakukan kejahatan serius.

Pada kondisi ini, orang-orang yang tidak berhenti berbuat baik, sesungguhnya sedang berjihad untuk menyampaikan yang sebenarnya. Berbuat baik itu adalah bagian dari berjihad. Berbuat baik di hadapan penguasa juga merupakan jihad. Makanya jangan takut berbuat baik.

Apa yang Anda pikirkan saat mendengar kata jihad? Jangan-jangan kita adalah orang-orang yang semakin tidak nyaman mendengar kata jihad? Seolah-olah ketika disebut kata ini, yang terbayang di benak kita hal-hal yang di luar akal sehat. Hal demikian juga harus mendapat perhatian.

Saya ingin menceritakan satu pengalaman. Suatu waktu, ada beberapa orang bertamu ke rumah. Tamu itu beraneka ragam. Ada mahasiswa yang sedang kuliah di sini, sama seperti saya yang waktu itu sedang kuliah. Maupun orang-orang sekitar. Para mahasiswa, umumnya mereka yang lebih muda dari saya. Mereka ingin mendapatkan masukan dan saling bisa bertukar pendapat. Di samping itu, sebenarnya juga ada hal lain yang saya bawa lebih dari sana: kopi.

Kami sering minum kopi bersama. Saat pulang ke Aceh, saya membawanya sejumlah bungkus. Beberapa merek. Karena di Aceh sendiri, produsen kopi ada beberapa, dengan nama dan asal kopi yang berbeda-beda. Tentu minum kopi bersama ini seperti mengobati kerinduan terhadap kampung halaman. Minum kopi ini berbeda dengan duduk berlama-lama di warung kopi –sebagaimana banyak kebiasaan yang tidak baik dari para pemuda kita. Minum kopi semacam ini penuh dengan kesederhanaan. Malah suatu kali saya beli tempat saring khusus yang saya bawa ke sana.

Kopi yang saya bawa sudah pernah habis. Lalu saya sengaja memesan lagi kopi dari sana. Kopi dikirim dengan menggunakan jasa pengiriman. Saya tidak tahu bagaimana mekanisme dan standar pemeriksaan terhadap barang kiriman pelanggan. Yang jelas ketika saya terima, amplop berisi kopi dan pembalutnya sudah sobek-sobek.

Saya tidak tahu apa yang mereka kita dari kopi yang dikirim kepada saya itu. Mungkin mereka mengira ada sesuatu dalam amplop yang dari dalam teraba seperti barang khusus. Melihat kiriman dari Aceh, dengan rasa yang aneh ketika diraba, mungkin membuat petugas jasa pengiriman menaruh curiga. Sehingga kopi yang saya terima, yang dikirim dari sana, ternyata sudah tidak utuh.

Tetangga saya, kebetulan juga banyak yang pecandu kopi. Ketika sesekali saya kembali dan saya bawa oleh-oleh berupa kopi, mereka senang sekali. Sama seperti mahasiswa yang sesekali mereka kunjung ke rumah kami, juga saya suguhkan kopi. Walau sudah sering mereka nikmati, mereka juga senang sekali.

Tetapi ini bukan soal kopi, walau saya ceritakan banyak tentang kopi. Saya ingin ceritakan hal penting lain, yang mungkin menarik bagi Anda. Rumah kontrak saya yang kecil, membuat saya harus meletakkan rak buku di ruang tamu. Tidak ada satu ruang khusus yang bisa dijadikan ruang untuk perpustakaan. Di dalam rak buku yang sesak itu, terdapat satu buku yang terlihat menonjol karena sangat tebal. Buku dengan judul Fiqih Jihad yang ditulis Yusuf Qardhawi, diterbitkan Mizan. Isinya sangat komprehensif menjelaskan mengenai jihad.

Buku ini agak menarik, karena saya beli ketika ada pameran buku yang memberi potongan harga sekitar 50 persen. Saya banyak membeli buku yang mendapat potongan harga saat ada pameran-pameran.

Buku tersebut sangat tebal. Kita bisa langsung melihat bentuknya yang agak menonjol dibandingkan yang lain. Orang-orang yang datang langsung bisa melihat buku itu. Ada sebagian dengan tidak malu-malu membukanya. Namun ada yang melihat saja. Ketika banyak orang alergi dengan kata jihad, saya bisa membayangkan apa yang dipikirkan seseorang. Apalagi yang selama ini sudah terlanjur mempermasalahkan jihad, dengan tanpa melihat substansinya.

Ketika zaman ini yang membuat orang semakin takut dengan kata jihad, maka rona wajah yang melihat buku saya juga ada yang berbeda. Ada di antara melihat yang raut wajahnya langsung berubah. Hal ini bisa saya lihat dari tamu yang datang. Mungkin orang suka dengan buku, raut wajahnya biasa saja. Mereka tidak akan segan-segan meminta ijin untuk membacanya –paling tidak melihat daftar isinya.

Masalahnya banyak orang yang datang ke rumah, justru mereka yang bukan pembaca, dan hanya melihat sekilas sampul dengan tulisan jihadnya itu. Saya bisa memahami ketakutan itu. Apalagi banyak orang-orang yang kenal terjangkit mentalitas islamophobia.

Ketika melihat buku dengan judul begini, mungkin pikiran sebagian orang melayang-layang entah ke mana. Mentalitas dari pembayangan yang melebihi dari mereka yang berkeyakinan berbeda.

Dari buku itu, saya bisa memahami banyak hal yang bisa dikategorikan jihad. Orang-orang yang berbuat baik, di tengah suasana perubahan iklim sosial yang tidak ramah, adalah salah satunya. Jadi mereka yang dipersekusi karena melakukan sesuatu yang baik, pada dasarnya mewakili wajah ini. Saya hanya berharap kepada siapapun, jangan pernah takut berbuat baik.

Wallahu A’lamu Bish-Shawaab.

Leave a Comment