Saya kira generasi awal para sarjana hukum adat, menyadari sepenuhnya ada situasi dilematis ketika studi hukum adat mulai diformalnya dari sisi akademis. Di satu sisi, berdasarkan sejarah panjang hukum adat yang berada dalam ruang hukum tidak tertulis, berangkat dari fakta dan realitas hukum adat yang ada dalam masyarakat kita. Di sisi lain, perkembangan yang oleh Prof. Moh. Koesnoe (1992) disebutkan mengarah kepada nilai-nilai yang bersifat normatif beserta sistemnya dalam arti sebagai sistem hukum. Dua sisi ini bahkan akan menjadi dilema dalam studi hukum adat kekinian.
Sejumlah pengalaman penelitian mutakhir mendapatkan suasana ini dalam realitas. Saling melihat kedua sisinya. Sebagai sesuatu yang berbasis pada fakta, itu harus dilihat. Namun bertumpu pada normatif, juga tidak mungkin ditinggalkan. Terutama ketika berhadapan dengan kebijakan, keberadaan hukum adat seperti berhadapan dengan tembok besar. Sebagian pihak beranggapan bahwa positivisasi adat sebagai sesuatu yang tidak mungkin dihindari. Catatan bahwa dalam studi, pergeseran dari adat ke normatif akibat positivitasasi, sering dilupakan para pengkaji hukum adat masa kini.
Ketika menghadiri seminar nasional yang dilaksanakan asosiasi pengajar hukum adat, saya merasakan aroma betapa studi hukum adat dengan berbasis fakta sangat sedikit diberi porsi. Sebagian justru terkungkung oleh pengaturan hukum positif terhadap hukum adat. Sesungguhnya, ketika sudah berada dalam ruang pengaturan demikian, ia sudah tidak bisa lagi disebut sebagai hukum adat, melainkan sudah masuk dalam ruang hukum positif.
Saya membayangkan bagaimana perdebatan di Leiden akhir abad ke-19, melalui catatan-catatan para penasihat militer Belanda di Nusantara waktu itu. Terutama ketika ada klaim kolonial bahwa tidak ada hukum di negara jajahan. Sejumlah penasihat bersikeras bahwa dalam bentuknya sendiri, masing-masing pribumi memiliki hukum. Barangkali bentuknya saja yang berbeda. Itulah catatan antropolog C. Snouck Hurgronje, yang pada fase selanjutnya oleh Van Vollenhovem membuat semacam “saringan” untuk menetralisir apa yang disebut sebagai “adat” itu. Ia menambahkan kata hukum sehingga menjadi istilah hukum adat dan itu untuk membedakan awal mula dari hukum adat yang diungkapkan Hurgronje. Saringan ini, terutama untuk menyeimbangkan frekuensi dan cara berpikir masyarakat kolonial agar sama dengan frekuenasi dan cara berpikir masyarakat jajahan.
Barangkali terlalu berlebihan. Tapi semua catatan itu, saya kira bisa ditelusuri secara mendalam oleh mereka yang benar-benar secara total berada dalam ranah studi hukum adat. Saya hanya ingin membedakan hukum adat itu dengan hukum modern –sebagai pencetus hukum positif. Merujuk pada Harold J. Berman (1983), menyebutkan sejumlah karakteristik antara lain yang tidak mungkin terpenuhi dari hukum adat seperti terdapat perbedaan yang relatif tajam antara institusi hukum dan institusi lainnya. Pengadministrasian institusi hukum dalam tradisi hukum barat dipercayakan kepada kelompok masyarakat tertentu yang didik dan dilatih secara khusus, dan oleh karenanya memiliki keahlian khusus. Para profesional hukum (disebut lawyer/jurist) dilatih secara khusus dalam lembaga pendidikan tinggi yang bersifat khusus (legal training) dengan dukungan literatur yang bersifat profesional, melalui pendidikan hukum yang khusus atau lembaga pelatihan lain. Dan yang penting disebutkan Berman adalah dalam tradisi hukum barat ada ketegangan antara yang ideal dengan yang realitas, antara dinamika kualitas dengan stabilitas, antara yang transenden dengan yang imanen.
Karakteristik ini yang bisa saja sedang berlangsung secara sempurna berdasarkan studi hukum adat di era sekarang. Diskursus akademik terkait hal ini, sesungguhnya sangat dibutuhkan.