Tidak banyak kesempatan saya alami keadaan yang semacam ini. Saat pulang ke kampung, suatu kali, saya menikmati kebahagiaan tiada tara. Mobil jenis L300 yang saya tumpangi, sopirnya meminta izin berhenti sebentar karena mau menunaikan shalat. Terus-terang jarang saya mendapatkan pengalaman semacam ini. Banyak saya alami, justru sering kita yang harus meminta berhenti. Kecuali di tempat langganan para sopir, mereka tetap akan berhenti. Namun kadang-kadang sampai di tempat tersebut tidak selalu dalam masuk lima waktu.
Saya tidak ingin mengambil kesimpulan bahwa sopir tidak shalat. Berdasarkan pengalaman, bisa jadi sopir menargetkan selalu pada tempat pemberhentian yang ditentukan. Di sanalah barangkali semuanya menunaikan kewajiban. Karena mengejar target pada tempat pemberhentian, maka waktu sering tidak tepat di awal waktu shalat. Adakalanya ketika waktu terus berjalan, ada penumpang yang mengira mobil tidak akan berhenti. Mudah-mudahan penjelasan semacam ini, dapat membantu dalam melihat bagaimana sesungguhnya orang per orang.
Mereka yang meminta secara khusus, bagi saya karena mereka menyadari dua hal. Pertama, shalat merupakan kewajiban semua orang. Mereka yang meminta ijin sesungguhnya bisa jadi pemberitahuan kepada semua orang di dalam mobilnya. Dalam kondisi semacam ini, ia pada dasarnya sebagai usaha untuk mengingatkan, agar semua orang menunaikan shalat, walau mungkin sudah tidak pada awal waktu. Kedua, kesadaran bahwa yang menjadi penumpang mobilnya adalah pengguna jasa. Untuk menunaikan kewajiban sekalipun, sopir berusaha untuk menyampaikan kepada pengguna jasa. Logika semacam ini bisa jadi tidak sederhana, karena dalam kenyataan ternyata orang-orang yang tidak menunaikan kewajiban bisa dari berbagai profesi. Ada sopir yang tidak menunaikan shalat, namun tidak sedikit penumpang yang juga abai terhadap kewajiban ini.
Saya sering mendengar tentang kisah bagaimana orang-orang dalam perjalanan terlihat meninggalkan kewajiban begitu saja. Bukan dengan menggunakan kemudahan, misalnya agama memudahkan urusan dalam hal bagaimana shalat bisa dikumpulkan dan diringkaskan dalam jarak tertentu. Dengan kemudahan demikian, orang bisa menunaikan dua waktu shalat dalam satu waktu, atau meringkaskan shalat dari empar rakaat menjadi dua rakaat. Untuk perjalanan jauh dalam mobil yang hanya berjumlah sekitar sepuluh orang saja, kita bisa merasakan orang-orang yang menunaikan kewajiban dengan yang abai. Apalagi kalau pemberhentian mobil bukan tempat yang padat. Lain halnya di tempat tertentu yang tersusun puluhan warung makan. Orang-orang yang turun dari mobil bisa memilih pintu mana yang akan mereka masuki. Untuk tempat yang semacam ini, sulit untuk merasakan suasana demikian. Berbeda dengan tempat yang hanya sejumlah orang saja, tanpa memperhatikan khusus pun akan tampak kepada kita.
Dengan demikian jelas bahwa potensi untuk abai bisa dimiliki siapa saja. Tidak tentu profesinya apa. Kita sering tidak bisa membayangkan, profesi yang riskan dari segi waktu, ternyata bagi orang yang tidak mau terlewatkan kewajiban, ia akan menunaikan walau dengan berbagai cara. Bukankah dalam perang sekalipun memiliki mekanisme bagaimana seseorang itu menunaikan kewajibannya. Tekad untuk menunaikan inilah yang membuat saya terkesan dari permintaan ijin sebuah mobil yang saya naiki. Sekali lagi, tidak mudah untuk mengingatkan orang-orang yang di sekitar kita. Tidak gampang berusaha mengingatkan orang untuk terus beramar ma’ruf nahy mungkar. Maka pada posisi demikian pun, orang-orang yang mengingatkan orang lain untuk menunaikan kewajibannya, bisa dikategorikan sebagai orang mulia.
Saya berharap kita tidak berhenti untuk saling mengingatkan. Mereka yang telah berbuat demikian, mengingatkan sesuatu kepada sesama, pasti mendapatkan ganjaran yang tidak sedikit.
Wallahu A’lamu Bish-Shawaab.