Suatu kali, saya merasakan kecamuk batin seseorang yang saya kenal. Ia sedang menjadi pensyarah di suatu tempat. Seseorang yang saya kenal ini orang yang penting dan terkenal. Dua alasan ini yang mungkin menjadi alasan ia harus sangat hati-hati. Mungkin siapapun saat sudah berada di puncak, ada banyak orang yang mengincarnya kanan-kiri.
Pada posisi sedang di puncak inilah, ia dituduh sejumlah hal. Suatu kali ia mendapat penghargaan, yang dengan itu ia mendapatkan sejumlah uang. Ia membeli sebuah mesin dan disumbangkan ke organisasinya. Karena menurutnya, penghargaan itu ia dapatkan karena organisasinya, bukan karena pribadinya.
Mesin inilah yang selalu dipakai untuk kepentingan masyarakat yang didampingi. Ketika gonjang-ganjing hal lain, mesin ini ternyata terbengkalai dan diambil orang. Teman-teman dari orang yang saya kenal itu, lalu melaporkannya kepada pihak berwajib.
Hal yang ingin saya sampaikan adalah pada saat laporan itu masuk, orang yang saya kenal itu sama sekali belum dipanggil pihak berwajib. Namun di luar beredar kabar yang luar biasa, bahwa ia sedang menunggu waktu saja untuk masuk penjara. Seorang temannya lalu mengonfirmasi, dan benar ia sedang tidak berada di kantor pihak berwajib, karena sedang menjadi pensyarah.
Kisah ini saya dengar dari sejumlah orang berbeda. Bagi saya mengerikan, karena sesuatu yang tidak pada tempatnya terjadi. Betapa ketidaksukaan orang terhadap orang lain bisa dilakukan apapun, yang perilaku demikian tidak saja berefek bagi yang bersangkutan, melainkan juga bagi keluarganya.
Saya tidak bisa membayangkan ketika hal semacam ini sampai kepada keluarga terlebih dahulu, sebelum memahami hal yang sesungguhnya. Orang yang disebar berita sedemikian rupa, namun ia sedang berada di tempat yang jauh.
Betapa orang melakukan sesuatu tidak selalu dilandasi benar atau salah, baik atau buruk, melainkan alasan suka atau tidak. Alasan ini yang menyebabkan seseorang mampu dan tega melakukan apapun terhadap orang lain.
Alasan ini ketika saya kaitkan dengan subjektif atau objektif, menjadi sangat kompleks masalahnya. Saya, mungkin sama seperti banyak orang: memiliki kelemahan dalam hal ini. Subjektif atau objektif terkait secara langsung atau tidak dengan usaha meluruskan pilihan.
Saya sering mengatakan kepada teman-teman saya bahwa secara pribadi, apapun yang diungkapkan, tak selamanya bisa lahir dan lepas dari kepentingan subjektif saya sebagai manusia. Barangkali masih ada orang yang bisa objektif –yang katanya dalam menulis dan mencatat sesuatu bisa terbesar dari berbagai tekanan jiwa.
Saya tidak demikian. Sekecil apapun itu, masih ada intervensi jiwa yang tidak mungkin terhindari. Wujudnya bisa berbagai macam. Rasa iba bisa membuat keputusan berubah dalam sesaat. Apa yang kita lihat, sering melupakan apa yang ada di balik kejadian. Makanya ketika mencatat, kadangkala melupakan berbagai sisi yang tersembunyi itu. Bukan saja pencatat, melainkan berbagai kapasitas individual kita yang selalu berpotensi menyebarkan hal yang positif atau sesuatu yang negatif.
Akan tetapi lupakanlah, bahwa dengan potensi mencatat dan mengabarkan sesuatu yang baik atau buruk, jangan melupakan sisi tersembunyi bahwa sesuatu harus dijalankan dengan rasa amanah. Tanggung jawab untuk menyampaikan sesuatu yang semestinya kepada mereka yang berkesempatan membaca atau mendengar.
Untuk mereka, harus juga disarankan untuk melihat realitas secara utuh. Tak masalah pembaca justru melihat lebih dalam dari apa yang dicatat oleh pencatat. Dengan menekankan yang demikian, membuka ruang bagi pembaca untuk mendapatkan tidak saja yang disuguhkan, melainkan sesuatu yang ada di sebalik suguhan itu.
Ingatan lain yang dibutuhkan adalah konsistensi. Ada satu tantangan terbesar dari seorang pencatat dan penulis adalah konsisten lahir-batin dari apa yang ditulisnya. Sesuatu yang ditulis, bukan lantaran posisinya sebagai penulis atau pencatat. Apa yang ditulis harus mencerminkan pada diri dan jiwanya. Dengan demikian, apapun yang ditulis, itu tak sebatas tampilan. Melainkan sesuatu yang diyakini dan untuk alasan tertentu itulah ia memilih menulis.
Pilihan ini pada dasarnya subjektif. Akan tetapi bukankah semua orang memiliki pilihan subjektifnya masing-masing? Subjektif terbesar yang harus dipilih adalah selaras raga dan jiwa. Inilah yang diingatkan Pramudya Ananta Toer, dalam novelnya Bumi Manusia, tentang satu hal yang sangat penting. Sederhananya, ia mengingatkan, bahwa seseorang itu harus sudah adil sejak dalam pikiran, apalagi perbuatan. Seseorang, mengutip Pramudya, bahkan sejak dari pikiran saja sudah harus adil, apalagi dalam perbuatan.
Seperti seseorang menulis tentang korupsi, bukan saja karena profesinya ingin mendapat tempat dalam panggung antikorupsi. Melainkan perbuatan itu dipandang sebagai perbuatan terkutuk yang jiwanya membenci dan turut berjuang dengan kemampuan yang dimiliki untuk mengenyahkannya. Secara lahir, orang yang menulis korupsi bisa saja mendapatkan sesuatu, positif atau negatif, namun secara batin, menulis itu dituntut oleh rasa benci akan perbuatan mungkar tersebut.
Begitulah idealnya. Seseorang, ketika melihat orang lain, tidak semata-mata karena alasan lain lantas menjustifikasi apapun terhadap yang bersangkutan. Sederhananya, menulis tak semata untuk menjawab dan konteks dengan realitas sosial tertentu. Menulis, selain untuk menjawab realitas, namun juga untuk mewakili realitas sosial baik lahir maupun batin.
Apa yang dialami orang yang saya kenal, yang saya cerita diawal, seharusnya menjadi pelajaran bahwa apapun yang kita lakukan, harus memperhitungkan semuanya.
Wallahu A’lamu Bish-Shawaab.