Penggunaan istilah negara hukum di negara kita, tidak mungkin dilepaskan dari diskursus bagaimana asal dan dioperasionalkan konsep oleh negara yang bersangkutan maupun negara-negara yang menerima pengaruhnya. Istilah negara hukum dalam catatan Daniel S. Lev, sering dipertukarkan. Ada tiga istilah yang harusnya memiliki makna yang berbeda, justru digunakan secara bertukar-tukar oleh para ahli hukum, yakni rechtsstaats, rule of law, dan negara hukum.
Dengan menggambarkan latar historis bagaimana pengaruh nilai-nilai hukum-Liberal di Eropa dan Amerika Utara tidak bisa disebutkan sebagai suatu kondisi yang tetap. Pemgaruh ini juga berubah-ubah sesuai dengan pola yang ada. Kondisi ini antara lain dapat diverifikasi ketika kita membedakan rechtsstaat Jerman dan rule of law Inggris, atau membedakan variasi-variasi rule of law Inggris dan Amerika Utara. Sementara negara-negara Asia campuran vector-vektor primordial dan legal secara diferensial condong ke patrimonialisme, tetapi kecenderungan legal muncul bersama dengan hal-hal yang tampak sebagai dukungan politik dan sosial yang ada (Lev, 2013).
Diyakini yang terjadi sebenarnya terkait dengan dukungan tersebut adalah bukan pada hukum, melainkan interaksi kewajiban sosial, hak dan kewajiban, serta kebajikan moral. Ketepakan pemaknaan dan pemahaman sangat dipengaruhi oleh bagaimana perubahan elite dan moralnya yang harus menyingkir karena tekanan, lalu mekarnya lapisan baru yang belum sempurna, menyebabkan dasar pikiran baru yang lahir juga terganggu. Memahami proses penggunaan istilah, merupakan jalan penting yang harus dilalui. Istilah rechtsstaat dan rule of law sendiri berada dalam pengonsepsian istilah dari konsep “hukum Barat” yang kabur. Daniel S. Lev menyebut ideologi saat menguraikan rule of law, yang secara historis terbentuk di Inggris dari golongan kelas menengah yang menguasai parlemen dan birokrasi kerjaan yang relatif lemah. Sementara rechtsstaat Eropa Daratan tumbuh di wilayah kekuasaan birokrasi sentral yang kuat yang tidak dapat didobrak oleh kaum berjuasi, tetapi dapat diimbau agar memberi konsesi. Kondisi inilah yang menyebabkan kecenderungan procedural common law adalah menguntungkan swasta dan civil law cenderung menguntungkan negara (Lev, 2013; Marryman, 1969).
Sepertinya proses pemaknaan yang seperti di atas tidak begitu mendapat perhatian utuh di kalangan hukum teoritis dan praktis, sehingga posisi antara rechtsstaat, rule of law, dan negara berdasarkan hukum, kerap dipertukar-gunakan. Hal tersebut pun kemudian dianggap bukan sesuatu yang berlebihan.
Ada satu kondisi yang dituliskan Daniel S. Lev, dengan membandingkan tiga kurun waktu dalam memosisikan negara hukum. Pertama, selama kurun waktu perlementer (1950-1957) negara hukum menjadi ideologi pengabsah republik konstitusional, tetapi banyak simbol-simbolnya secara konservatif dikaitkan dengan lembaga, prosedur, dan berbagai kitab undang-undang Belanda yang dilestarikan sampai masa kemerdekaan. Kedua, pada masa Demokrasi Terpimpin (1958-1965) negara hukum tenggelam di bawah tekanan patrimonialisme rezim dan ideologinya yang radikal-populis, yang mengutakaman keadilan substantif dari keadilan prosedural. Ketiga, dengan lahirnya Orde Baru sesudah kudeta tahun 1965 yang gagal, perbincangan mengenai negara hukum bangkit kembali dengan cepat, sebagian sebagai reaksi terhadap Demokrasi Terpimpin, namun lebih jelas dan mendalam daripada yang sudah-sudah. Selama awal kurun Orde Baru, sampai kira-kira tahun 1971, para pendukung negara hukum boleh dikata optimistis. Keempat, justru optimistis ini berubah menjadi pesimistis saat Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Kekuasaan Kehakiman diundangkan, walau disebut gagasan ini tetap kuat dan merupakan fokus simbolis bagi kritik-kritik terhadap pemerintah (Lev, 2013).
Dengan membandingkannya dari ketiga kurun waktu-rezim di atas, pemaknaan negara hukum yang juga berubah, juga bukan sesuatu yang berlebihan. Apalagi kemudian, jika dibandingkan dalam kurun yang lebih makro, yakni masa sebelum amademen konstitusi dengan era sesudahnya yang menempatkan dan menegaskan posisi negara hukum secara berbeda. UUD 1945 menempatkan “Indonesia adalah negara hukum (Rechtstaat), bukan negara kekuasaan (Machsstaat)” pada penjelasan. Berbeda dengan UUD 1945 setelah amademen, yang menyebut dengan tegas dalam Pasal 1 ayat (3) bahwa Indonesia adalah negara hukum.