Jalan Panjang Negara Hukum

Saat berbicara negara hukum, umumnya para sarjana mengaitkannya dengan Raja Louis XIV, di Perancis. Dari titik inilah, konsep muncul dan sesuai perkembangan zaman, tertampil dalam dua wajah –cermin dari dua sistem hukum: rechtsstaat dan the …

Saat berbicara negara hukum, umumnya para sarjana mengaitkannya dengan Raja Louis XIV, di Perancis. Dari titik inilah, konsep muncul dan sesuai perkembangan zaman, tertampil dalam dua wajah –cermin dari dua sistem hukum: rechtsstaat dan the rule of law. Dalam sejumlah literatur, memperlihatkan Louis XIV sebagai bengis. Melalui tokoh ini digambarkan wajah kekuasaan yang absolut, dengan kekuasaan mutlak dan berada di tangan satu orang saja. Maka baik rechtsstaat maupun the rule of law, pada dasarnya sebagai ruang bagi perlawanan terhadap kekuasaan raja yang absolut (Harahap, 2014).

Selain Perancis, ada kondisi serupa juga terjadi di Inggris –kekuasaan absolut yang dipegang Raja John dengan lakap The Lackland. Di Inggris, dia naik tahta sebagai adik dari Raja Richard The Lionhart, yang dipandang sebagai era kuasa yang paling kelam dalam sejarah Inggris. Ada beberapa momentum yang membuatnya terjungkal. Ia tidak begitu kuat dan mengeksploitasi rakyatnya, lalu perseturuannya dengan gereja. Ia kalah perang dari Perancis dalam perebutan wilayah Normandia. Wilayah ini paling penting secara ekonomi. Kemudian ia naikkan pajak untuk merebut kembali Normandia, namun tetap gagal. Kondisi ini berakhir saat 15 Juni 1215 ia menandatangani Magna Carta (Suudi & Galih, 2022).

Proses yang disebut di atas, kemudian menguatkan munculnya apa yang disebut sebagai negara hukum. Konsep yang disebut oleh para filsuf, negara berdasarkan hukum. Mereka yang berfikir tentang negara hukum, umumnya berasal dari aliran empirisme, yakni yang terpenting: John Locke, Montesquieu, dan Rousseau. Dalam filsafat, aliran empirisme itu menegaskan bahwa semua pengetahuan berasal dari pengalaman –berikut turunannya, seperti kebenaran, yang juga diperoleh berdasarkan pengalaman indrawi manusia. Aliran ini, pada dasarnya sebagai antithesis dari aliran rasionalisme yang dipelopori Rene Descartes –yang meyakini pengetahuan diperoleh berdasarkan rasio –juga berikut turunannya, keyakinan terhadap kebenaran berdasarkan apa yang diperoleh dari rasio.

Terlepas bagaimana aliran-aliran ini berkembang, ada yang saling mendukung, pun tidak sedikit yang bertolak belakang. Namun melihat posisi perkembangan hukum sendiri juga menarik. Konsep ini muncul antara lain pada proses kerja sama orang-orang dalam suatu ruang sosial. Pada awalnya, yang sangat penting hukum itu hanya berupa perikatan biasa antar warga. Lalu dengan kesadaran, antar warga itu memperluas kontrak, saling mengikat diri pada satu hal tertentu yang disepakati. Hal yang disepakati ini sendiri, ada berlangsung pelan-pelan berdasarkan kesepaktan diam-diam, namun ada juga yang berlangsung berdasarkan konsensus bersama.

Proses ini lalu berkembang sedemikian rupa. Pada tingkat tertentu ada yang berlangsung sederhana, namun tidak sedikit yang berlaku sangat rumit. Puncaknya, pertengahan abad ke-18 (1750) di Inggris, terjadi perubahan yang sangat cepat. Bertumbuhnya tenaga mesin yang menyebabkan perubahan sosial luar biasa. Hal ini yang kemudian turut memicu suatu revolusi industri sebagai bagian perubahan yang penting di dunia. Tidak jauh selang, di Perancis (1789), terjadi revolusi dengan dihapuskannya kekuasaan absolut yang waktu itu dipegang Raja Louis XVI, digantikan dengan sistem yang berkebebasan (liberte), egalite, dan freternite (peraudaraan). Proses normalnya kekuasaan di sana berlangsung dalam setidaknya tiga dekade.

Revolusi politik sendiri sebagai gerakan untuk menghentikan kekuasaan-kekuasaan raja yang absolut –kekuasaan yang tiada banding dan tiada batas. Kekuasaan yang kerap dilakukan dengan suka-suka saja. Makanya sejumlah pemikir hukum beranggapan, bahwa revolusi tersebut tidak bisa dilepaskan hingga kemudian memunculkan konsep hukum modern. Galanter menyebutkan, hukum dalam wajah ini terdiri dari peraturan-peraturan yang uniform dan konsisten dalam penerapannya. Ia bersifat transaksional dan universal. Sistemnya berjenjang. Hukum diorganisasi secara birokratis (Galanter, 1966). Sistem ini bersifat rasional dan dijalankan oleh ahli-ahli khusus secara profesional (Rahardjo, 1981).

Dengan demikian, kita harus sadar bahwa proses menjadi negara hukum –mulai dari bagaimana konsep ini dilahirkan, dibangun, dan dikembangkan—bukan sesuatu yang terjadi dalam satu hari satu malam. Kesadaran ini, ketika muncul, tidak akan menjalankan kekuasaan secara semena-mena. Sesuka-suka.

Wallahu A’lamu Bish-Shawaab.

Leave a Comment