Jangan Demi Pamrih

  Pernahkah kita mendengar ungkapan orang bahwa apapun yang kita lakukan, baik atau buruk, akan ada jelas balasannya. Konteks pembicaraan adalah untuk kehidupan dunia. Kalau untuk kehidupan akhirat, tidak ada debat tentang ini. Ada balasan …

 

Pernahkah kita mendengar ungkapan orang bahwa apapun yang kita lakukan, baik atau buruk, akan ada jelas balasannya. Konteks pembicaraan adalah untuk kehidupan dunia. Kalau untuk kehidupan akhirat, tidak ada debat tentang ini. Ada balasan yang akan diterima orang-orang yang hidup dalam berkehidupan. Bahkan baik atau buruk dengan seukuran zarrah sekalipun, akan ada balasannya nanti di hadapan mahkamah sebenarnya.

Ketika balasan ini diungkapkan untuk kehidupan dunia, banyak orang yang berpengalaman demikian. Orang yang bersedeqah salah satunya, selalu mengaku tidak pernah berkekurangan setelah sebagian hartanya dibagi. Orang-orang yang memberi kemudahan untuk orang lain juga demikian. Dalam sejumlah hal, mereka mengalami kemudahan hidup dalam berkehidupan dirinya.

Ada dua hal yang seharusnya menyatu: perbuatan baik dan ikhlas. Kenyataannya, tidak semua orang bisa tanpa pamrih. Orang melakukan sesuatu, yang baik, namun berharap pamrih. Idealnya, tidak pamrih. Begitulah, berbuat baik itu, seharusnya seperti tamsil melakukan sesuatu dengan tangan kanan, jangan diketahui oleh tangan kiri. Dengan demikian, berbuat baik, sama seperti salah satu wujudnya –memberi sedekah—melalui tangan kanan yang tangan kiri tidak perlu mengetahuinya.

Adakah ruang untuk berbuat baik itu? Pertanyaan tidak saya sangka-sangka muncul dari orang yang tidak saya duga. Seorang teman yang lumayan pendiam, aktif dalam beberapa organisasi, namun menanyakan ruang untuk berbuat baik. Bagi saya, ini aneh. Berbuat baik itu selalu tersedia banyak ruang. Justru berbuat jahat dan buruklah yang sangat sempit ruang. Walau dangan ruang yang kecil dan sempit, nyatanya, banyak orang yang memanfaatkan ruang itu. Perbuatan jahat semakin hari semakin banyak. Di berbagai tempat, kejahatan dan perilaku buruk sangat bertebar.

Perilaku buruk –sebagiannya juga terancam dengan berbagai risiko. Orang yang membegal, suatu perbuatan buruk yang berisiko, pembegal bisa saja diamuk oleh orang-orang sekiranya ditemukan. Pencuri juga memiliki risiko sama. Namun pencurian dan begal ternyata muncul di banyak tempat. Memang ada perbuatan buruk yang terkesan dibutuhkan oleh para pelakunya. Itu lain lagi konteksnya. Korupsi adalah satu perbuatan buruk. Orang yang korup, pada tingkat tertentu mudah diraba. Namun tidak penting ketika seseorang menampakkan “keberadaannya”, bagi publik ia menjadi terhormat. Tahukan betapa seorang kaya yang rajib menyumbang berbagai kebutuhan kampung, tidak pelit untuk membantu siapa saja, ternyata seorang penjual narkotika.

Semua itu perbuatan buruk, yang walau ruangnya sangat sempit dan untuk melakukannya tidak kecil risiko, nyatanya juga dilakukan oleh banyak orang. Sedangkan perbuatan baik, semakin aneh saja. Orang yang menemukan uang namun mengembalikan, dianggap orang langka. Orang-orang kecil yang bekerja di bawah ancaman untuk membersihkan paku di pinggir jalan, tidak menjadi perhatian orang, sehingga bila suatu waktu ada orang yang memberi sesuatu –semisal minuman—kepada mereka yang membersihkan paku di jalan, justru orang yang memberi minum itulah yang dianggap pahlawan.

Intinya bagi perbuatan baik, selalu tersedia banyak ruang. Melakukannya terkesan lebih berat. Apalagi, perbuatan baik yang dibarengi rasa keikhlasan. Ketika berharap balasan, maka apa yang kita lakukan berkualitas hanya sebatas harapan balasan itu. Bahkan lebih murah. Makanya mari mulai melakukan berbagai perbuatan baik dengan ikhlas.

Melakukan sesuatu dengan baik dan disertai ikhlas, akan melahirkan perbuatan baik selanjutnya, hingga tanpa batas. Dengan perbuatan baik yang tanpa batas, melahirkan kualitas kehidupan yang tiada batas pula. Mengapa tidak kita mulai sekarang juga?

Wallahu A’lamu Bish-Shawaab.

Leave a Comment