Dalam rentang 1998 hingga 2002, sesungguhnya ada satu peristiwa penting yang dilaksanakan pemuda dan mahasiswa di Aceh. Mereka yang semua bergabung di bawah Sentral Informasi Referendum Aceh (SIRA), menggelar Sidang Umum Majelis Rakyat Aceh, pada tanggal 8 November 1999, dengan isu utama, menyuarakan aspirasi untuk referendum Aceh. SIRA terbentuk pada 5 Februari 1999, saat pelaksanaan Kongres Mahasiswa dan Pemuda Aceh Serantau, berlangsung di Gedung Syiek di Tiro. Kegiatan 8 November sendiri diperkirakan hadir lebih sejuta rakyat Aceh. Kegiatan tersebut dipusatkan di halaman Mesjid Raya Baiturrahman.
Setelah reformasi di Indonesia, pada tanggal 21 Mei 1998, setelah turunnya Presiden Soeharto dan digantikan oleh Wakil Presiden, Baharuddin Jusuf Habibie, keadaan negara mengalami ketidakstabilan. Sejumlah turbulensi terjadi, terutama ekonomi dan politik. Kondisi ini juga berpengaruh ke sejumlah daerah yang mengalami konflik. Salah satunya, konflik Aceh. Keadaan itu menyebabkan sejumlah kebijakan yang harusnya ada tidak hadir dalam menyelesaikan masalah yang terjadi dalam ruang-ruang sosial.
Sepanjang 2000 hingga 2002, kondisi keamanan di Aceh berjalan tidak stabil. Walau dengan kondisi yang kadang kala bergejolak itu, sejak 2001, saat Presiden Abdurrahman Wahid menjabat presiden, mulai mengusahakan adanya satu dialog bagi penyelesaian masalah Aceh. Usaha tersebut dilakukan dalam rangka menjaga agar tidak ada pihak yang menjadi korban. Pada titik kemudian muncul upaya dialog.
Berdasarkan sejumlah catatan media, ada beberapa kali Presiden Abdurrahman Wahid mengirim utusan menemui pimpinan GAM waktu itu. Tapi konflik Aceh belum bisa diselesaikan dengan baik. Titik temu belum ditemukan. Kecuali beberapa kebijakan yang lahir, dan terpenting dari semua kebijakan yang ada adalah lahirnya Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Undang-undang ini sendiri, juga diperdebatkan sedemikian rupa baik proses maupun substansinya.