Perbuatan buruk tidak selalu dilaksanakan sendiri. Belajar dari banyaknya operasi tertangkap tangan dalam kasus korupsi, menggambarkan bahwa perbuatan buruk semacam mencoleng uang rakyat itu harus dilakukan bersama-sama. Selalu ada kerjasama yang apik antar berbagai elemen.
Beberapa hari ini, kita disuguhkan lagi dengan temuan sel-sel lembaga pemasyarakatan yang mewah dan diperuntukkan bagi mereka yang mencoleng uang rakyat. Betapa apik kerjasama mereka, karena sesampai di tempat yang seharusnya memanusikan mereka, ternyata mereka juga masih berdaya. Bahkan mereka yang seharusnya memanusiakan mereka, sepertinya mendapatkan umpan agar yang berlaku sebaliknya.
Apa yang menyebabkan seseorang yang seharusnya menjalankan tugas baik, namun dalam perjalanan bekerjasama dengan orang-orang yang berpikir buruk? Bukankah materi, salah satu alasannya? Orang mau melakukan apapun karena ada kompensasi sesuatu yang selama ini dibutuhkan semua orang. Ada yang realistis, dan ada yang tidak. Mereka yang realistis beranggapan bahwa tidak semua materi bisa menjadi haknya. Semua sudah ada tumpuknya.
Betapa rendah orang-orang yang sudah dibiayai negara, namun masih menerima, atau malah menengedah tangan dari mereka yang sedang dihukum negara. Namun ini terjadi.
Semalam saat saya nonton satu tayangan kriminal, ternyata dalam kasus peredaran narkotika dan obat-obatan terlarang, kerjasama yang jahat itu juga luar biasa. Televisi membuat satu tayangan bagaimana penjahat itu dikejar dan ditangkap. Tentu yang bisa ditayangkan televisi untuk hal yang memungkinkan publik tahu. Selebihnya tidak, karena kalau semua ditayangkan, maka penjahat juga akan meningkat kepintarannya.
Di luar kejahatan, ada proses yang menjahatkan orang. Sesuatu terjadi karena ruang untuk berbuat jahat sering dibentuk pelan-pelan. Beberapa kegiatan yang dilaksanakan, seperti mengharuskan kita untuk berbohong. Dalam proyek pengadaan, misalnya, dengan adanya daftar harga, orang yang melakukan pengadaan, termasuk pelaksana, selalu memilih harga yang maksimal. Padahal bisa jadi, di tempat tertentu, harga harga maksimal dengan harga sesungguhnya berbedanya itu sebesar satu kali lipat. Dalam rencana, juga disebutkan dengan harga maksimal itu, yang sesungguhnya berbeda dengan harga riil.
Mengapa proses demikian itu berlangsung? Semua elemen saling mendukung. Penyedia uang, pelaku pengawasan, mereka yang melaksanakan, sampai kepada pihak yang membantu menyediakan bukti pembelian. Selama ini, bukti itu dengan mudah bisa dibeli. Dengan tanpa membeli barang sebagaimana direncanakan pun, bukti justru akan mudah didapat. Menurut kabar, bukti itu bisa dibeli juga.
Dengan kenyataan ini, bukankah ada ketidakjujuran yang sedang terjadi dalam banyak ruang masyarakat kita? Seberapa banyak kita gundah-gelisah dengan fenomena ini? Jangan-jangan tidak semua merasa bersalah, karena semua pihak yang terlibat turut merasakan kebahagiaan dari keterlibatan tersebut.
Dalam Kamus Bahasa Indonesia, kata jujur itu adalah lurus hati, tidak berbohong (apa adanya). Di samping itu, juga diartikan dengan tidak curang (mengikuti aturan). Termasuk dalam makna ini, adalah tulus, ikhlas. Kata tulus bermakna sungguh dan bersih hati, tidak pura-pura, tidak serong. Ikhlas, dalam hal ini, bersih hati.
Bisa jadi secara individu, ada orang yang masih bisa jujur, namun ketika dalam masyarakat, seperti ikut terjebak dalam ketidakjujuran. Contoh di atas kenyataan demikian. Dalam kondisi yang jamak demikian, munculnya sejumlah pihak yang berusaha jujur, justru menjadi aneh –bahkan tak jarang dimusuhi. Komitmen jujur itu tak selalu dengan kerja besar. Dahulu ada toko anak muda yang dengan tegas menuliskan komitmennya di bawah nama toko, dengan tulisan, “mohon maaf, kami mencintai Islam sepenuh hati, kami tidak menerima manipulasi kuitansi”.
Untuk apa kuitansi dimanipulasi? Tentu ada maksudnya. Mereka yang melakukan demikian, sering mengungkap banyak alasan. Salah satunya, terutama ketika melaksanakan berbagai pekerjaan yang dibiayai pemerintah, mereka harus menyetor kepada banyak pihak juga. Tanpa setoran, juga berpotensi disalahkan walau sudah melaksanakan dengan benar.
Dengan demikian, jelas ada posisi tahu dan amal. Banyak orang yang tahu tidak jujur itu merupakan perbuatan dosa, akan tetapi belum mampu ketika mengamalkan. Banyak kita tahu bahwa jujur itu penting, tetapi seperti kendala ketika mengamalkan. Ada banyak kepentingan praktis yang memotong dan menggurita kejujuran. Dengan contoh sederhana di atas, menggambarkan kesederhaan kepentingan itu.
Maka tidak ada jalan lain, orang-orang jujur juga harus didukung oleh jamaah yang jujur. Untuk hal ini, orientasi yang harus dibangun adalah jujur secara berjamaah. Jujur menegaskan seseorang akan melakukan sesuatu dengan garisnya, apakah itu diketahui orang lain atau tidak. Kita merasakan bahwa apa yang kita lakukan selalu terpantau.
Kita harus mulai belajar untuk jujur atas apa adanya. Untuk tahap awal, orang yang berusaha jujur, ketika sedang berada dalam rombongan orang tidak jujur, akan mendapatkan banyak musuh. Akan tetapi itu bukan berarti kondisi yang tidak jujur itu tidak bisa diubah.
Bisakah orang jangan berbohong? Melakukan sesuatu dengan jujur, walau ada format dalam sistem tertentu yang bisa mengharuskan untuk itu. Jika masih ada ruang untuk berbuat jujur, mengapa orang-orang secara berjamaah dan berjanjang masih bisa berbohong?
Wallahu A’lamu Bish-Shawaab.