Kasih Ibu Sepanjang Masa

Berbicara keluhan, bisa tampak pada tiga wajah. Orang yang mendapat cobaan kecil, tetapi keluhan besar, setidaknya lebih besar dari kenyataan. Ada orang yang mendapat cobaan besar, tetapi selalu mengeluh apa adanya. Tipe lain, orang yang …

Berbicara keluhan, bisa tampak pada tiga wajah. Orang yang mendapat cobaan kecil, tetapi keluhan besar, setidaknya lebih besar dari kenyataan. Ada orang yang mendapat cobaan besar, tetapi selalu mengeluh apa adanya. Tipe lain, orang yang baik mendapat cobaan besar atau kecil, menerima apa adanya, tidak mengeluh, apalagi menyampaikan kepada tetangga kanan dan kiri.

Kebanyakan orang justru yang lebih banyak mengeluh dibandingkan cobaan yang dialami. Padahal masalah hanya sedikit, namun ditambah-tambah, dan dikesankan seolah masalah begitu besar sedang menimpa. Padahal sebaliknya, ada orang yang mendapat cobaan besar, justru tampak biasa-biasa saja.

Kita harus banyak belajar dari orang sabar, untuk mendapat pengalaman bagaimana mereka bisa mampu menghadapi semuanya. Padahal fisik kita sama, dengan kemampuan lain yang mungkin hampir-hampir sama. Pertanyaan lain, mengapa kita tidak bisa sabar, padahal mungkin cobaannya tidak sebesar dari yang dialami orang-orang.

Saya ingin mengungkapkan satu pengalaman. Ketika keluarga saya sakit, saya mendapat satu kamar yang dekat dengan seorang ibu yang juga dirawat. Di salah satu ruang rumah sakit, ada seorang ibu sakit yang menikmati sakitnya itu seorang diri. Katanya, suatu sore, ia  merasakan ada sesuatu dengan kesehatannya. Lantas ia pergi ke praktik dokter. Ketika itu, dokter langsung memintanya tidak pulang lagi dan harus dirawat. Ia langsung mendapat kamar yang di dalamnya ada satu pasien lainnya.

Sebenarnya jarak rumahnya dari rumah sakit tidak begitu jauh. Mungkin sekitar dua kilometer. Dari depan rumah sakit, melihat ke kiri, ada jalan raya, di seberangnya ada satu lorong. Rumahnya di ujung lorong itu. Saya sudah pernah masuk ke sana untuk melihat suasana kampung itu.

Selama dua hari, ada dua anak perempuannya yang datang bergantian. Kadang-kadang datang pagi, di hari lain siang atau malam. Ada seorang pria, mungkin suami dari salah satu di antara dua itu yang sudah menikah. Ibu itu menderita gangguan paru. Ia merasa sesak di waktu tertentu. Sering dipakai alat bantu pernafasan.

Praktis segala kebutuhan di rumah sakit, dibantu sepenuhnya oleh perawat. Mulai dari ganti pakaian, memandikan atau membersihkan tubuh, termasuk –maaf, membersihkan dari buang hajat. Kalau pun anaknya datang, sama seperti datangnya orang lain yang berkunjung. Datang, menanyakan kabar, lalu permisi pulang. Sewaktu datang juga membawa sesuatu, makanan atau buah-buahan.

Bisa jadi anaknya sibuk dengan aktivitas masing-masing. Barangkali karena sudah bekerja. Makanya tidak sempat mengurus. Masalahnya, kemarin hari Sabtu dan Ahad pun, anaknya tidak juga berdiam lama. Begitu muncul, saling ngobrol sekitar 15 menit, lalu pulang lagi. Akan tetapi si ibu, merasa bahagia merasakan sakitnya seorang diri. Tidak mengeluh. Kalau merasakan sakit, juga tidak mengungkap apa-apa. Ketika berbicara, ia sangat tenang, dan terkesan tidak ada masalah apapun dengan kesehatannya. Ia juga tidak bercerita apa pun tentang anaknya. Ia juga sangat menikmati apapun yang dibawa.

Pernah suatu malam, sepertinya ia tidak bisa tidur. Namun ia tidak juga memanggil siapa pun. Perawat hanya akan dipanggil khusus untuk mengganti cairan infus atau mengganti obat. Sedangkan untuk membersihkan tubuhnya, perawat akan datang sendiri. Beberapa waktu terlihat, ia sama sekali tidak memanggil.

Entah apa yang dirasakan oleh ibu ini. Tentu, kita tidak bisa menebak-nebak. Namun melihat bagaimana anak mengurus ibunya, dan ibunya tidak mengeluh sedikit pun atas itu, menjadi terang betapa ibu jarang menuntut balas dari anaknya. Betapa ikhlas ibu dalam menjaga anaknya sampai dewasa, namun kadangkala berbanding terbalik dari anak. Seringkali seorang anak menghitung-hitung lebih dahulu ketika melayani ibunya. Betapa perhitungannya sang anak.

Teringat kalimat lagu, “kasih ibu, sepanjang masa, … hanya memberi, tak harap kembali ”. Mudah-mudahan kita tidak termasuk dari seorang anak yang membiarkan ibunya seorang diri, baik dalam kondisi sehat maupun dalam kondisi sakit. Insya Allah.

Leave a Comment