Kejujuran, bisa diukur dengan formal maupun substansi. Secara formal, kejujuran dilihat menurut ukuran tertentu. Secara sederhana, ia bisa diukur dengan indikator tertentu. Sedangkan yang substansi, kejujuran itu berlaku begitu saja. Mentalitas jujur sangat penting. Orang yang jujur tidak ditentukan pada pengakuannya, melainkan pada apa yang dilakukan.
Banyak orang yang menilep, namun selalu bilang dirinya jujur. Orang mengaku tidak melakukan apapun yang melanggar, padahal yang terjadi sebaliknya. Di ruang-ruang pengadilan kita menyaksikan berbagai keterangan, seolah semua yang bersaksi sudah bisa dipercaya. Mereka sudah disumpah pula, namun tidak sedikit yang mengatakan dengan penuh ketidakjujuran.
Mereka yang membuktikan seseorang itu jujur atau tidak, ada pegangan tertentu. Temuan yang membuat seseorang tidak bisa berkutik. Orang-orang yang mengaku tidak tahu apa-apa, ketika disodorkan bukti, baru terbelalak. Demikian juga mereka yang mengaku tidak tahu apa-apa.
Ini semua masalah nilai. Maka ketika saya bersama beberapa orang yang duduk di meja bawah pohon kantin kampus, sampai pada pembicaraan tentang nilai. Pembicaraan ini mungkin tidak terlalu penting, seandainya kita menganggap begitu. Namun sangat penting, jika ditilik dari faktor kejujuran dan pendidikan yang memberdayakan. Perlukah kejujuran? Mengapa mesti memberdayakan? Dua pertanyaan itu, mungkin akan menjadikan pembicaraan ini sedikit rumit.
Mengapa tentang nilai? Kegiatan ini yang menentukan semua hal. Mahasiswa yang menyelesaikan jumlah apa yang dinamakan dengan sistem kredit semester (SKS), tetap harus melalui proses nilai-menilai. Tidak bisa tidak. Sesederhana apa pun, menentukan seseorang sudah mencapai SKS tertentu, rasanya tidak mungkin tanpa melakukan proses nilai-menilai. Apalagi berbagai kegiatan yang berhubungan dengan pengumpulan SKS tersebut.
Setiap semester, mereka juga mengumpulkan. Mahasiswa yang kebetulan tidak bisa mencapai jumlah SKS tertentu, akan berhadapan dengan evaluasi. Setingkat empat atau delapan semester, jumlah SKS mahasiswa akan dihitung. Nah, mereka yang tidak mencapai jumlah yang ditentukan, akan berhadapan dengan evaluasi dimaksud.
Evaluasi ini tidak sederhana. Seseorang yang tidak bisa mencapai jumlah yang ditentukan, maka ia akan menerima dua pilihan saja, tidak lebih: mengundurkan diri dengan mengurus pindah ke tempat yang baru atau dikeluarkan. Hanya dua pilihan itu.
Coba bayangkan seandainya untuk menentukan semua proses tersebut tidak melalui yang namanya kegiatan nilai-menilai. Namun pertanyaan lain muncul, sesulit apakah nilai-menilai itu? Mungkin ini masalah kejujuran. Ada banyak hal yang harus dilihat dan jangan berhenti pada satu saja. Orang yang hanya melakukan nilai-menilai pada waktu sukses-tidaknya seseorang bisa menjawab soal, maka evaluasi terhadap kegiatan semacam ini harus dilakukan. Perlu langkah lain, karena sukses-tidaknya itu juga turut ditentukan oleh berbagai aspek juga. Sangat disayangkan bila ada seorang anak pandai, ketika berangkat dari rumah mendapat hadangan binatang liar, lalu tenaganya terkuras ketika menyelamatkan diri, semangatnya terbuang, lalu psikisnya turun drastis waktu itu.
Siapa peduli dengan logika begini. Musim nilai-menilai, di hadapan gelas kopi kami, sebuah agenda penjemputan tim penilai diletakkan seorang yang baru datang. Ia memesan kopi, lalu terlihat sekelas ada agenda penilaian kampus oleh tim yang datang dari jauh. Mereka harus disambut dengan belasan spanduk selamat datang, dijadwalkan makan suatu kali di restoran, hingga petugas antar-jemput dari datang sampai pulang.
Ketika pada taraf ini, makna nilai sepertinya harus kembali kita perdebatkan. Seperti mempertanyakan anak-anak yang ikut ujian mata pelajaran, kita tanyakan: “wahai anak-anak, apakah jawaban di kertas jawaban ujian kalian jawab dengan penuh kejujuran?” Ketika anak-anak menjawab: “dengan penuh kejujuran”, maka hasilnya disimpulkan jujur. Maka diskusi tentang ini tidak boleh ditinggalkan.
Ini masalah kegiatan nilai-menilai, percayalah, bukan masalah yang lain.