Berdasarkan satu laporan Our Common Future yang dihasilkan WCED, menempatkan kemiskinan dan lingkungan sebagai hal yang saling berkaitan. Menariknya bahwa kondisi ini telah disadari sejak lama.
Melihat perkembangan dari perumusan kebijakan pada tingkat global, sejak Deklarasi Stockholm (1972), masalah kemiskinan sudah dipandang sebagai tantangan terbesar dalam penyelamatan lingkungan. Deklarasi ini lahir dari United Nations Conference on the Human Environment di Stockholm, 5-16 Juni 1972. Salah satu konsep yang pentingnya adalah pembangunan berkelanjutan secara global. Konsep ini, kira-kira bermakna bahwa pembangunan yang berusaha memenuhi kebutuhan hari ini, tanpa mengurangi kemampuan generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhan mereka.
Segala kegiatan ”yang tidak mengurangi kemampuan generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhan mereka” pada dasarnya adalah termasuk kegiatan menyelesaikan menyejahterakan rakyat. Namun kita acapkali berfikir bahwa menggunakan hasil alam tanpa reserve dipandang satu-satunya jalan strategis dalam hal meningkatkan kesejahteraan, tanpa mempertimbangkan social cost dan kepentingan generasi mendatang –yang akhirnya malah menyengsarakan. Hal seperti ini secara formal dalam lingkup global sudah mulai dikonsepsikan sejak 1972 tersebut.
Dalam beberapa pertemuan selanjutnya juga membahas persoalan kemiskinan, antara lain United Nations Conference on Environment and Development di Rio de Janeiro tanggal 3-14 Juni 1992. Konferensi ini menghasilkan Deklarasi Rio, Agenda 21, Forests Principles dan Konvensi Perubahan Iklim serta Keanekaragaman Hayati). Konferensi juga menghasilkan konsep pembangunan berkelanjutan yang mengandung tiga pilar utama yang saling terkait dan saling menunjang yakni pembangunan ekonomi, pembangunan sosial, dan pelestarian lingkungan hidup. Masyarakat asli dan komunitasnya, dan masyarakat lokal memiliki peran penting dalam pengelolaan dan pembangunan lingkungan (Prinsip 22, “Indigenous people and their communities, and other local communities, have a vital role in environmental management and development because of their knowledge and traditional practices. States should recognize and duly support their identity, culture and interest and enable their effective articipation in the achievement of sustainable development”).
Pertemuan penting lain adalah Word Summit on Sustainable Development di Johannesburg pada 26 Agustus hingga 4 September 2002. Pengevaluasian secara kritis termasuk mengetahui hambatan pelaksanaan pembangunan berkelanjutan dan menentukan masa depannya. Konferensi ini semakin memberikan kesadaran bahwa masalah lingkungan sangat terkait erat dengan kondisi ekonomi dan masalah keadilan sosial. Pertemuan ini menegaskan bahwa kebutuhan sosial, lingkungan dan ekonomi harus dipenuhi secara seimbang sehingga hasilnya akan berlanjut hingga masa depan. Simpulan penting dari Deklarasi Rio adalah dikenalnya “hak-hak asasi lingkungan”.
Pertemuan tersebut ditindaklanjuti dengan Indonesian Summit on Sustainable Development, yang menyepakati: (1) sangat penting menyelaraskan pembangunan di Indonesia dengan Deklarasi Rio de Janeiro, Piagam Bumi, MDGs, Program Aksi Johannesburg, (2) integrasi prinsip pembangunan berkelanjutan Johannesburg ke dalam strategi nasional di tingkat lokal dan nasional, (3) sendi pembangunan ekonomi, sosial-budaya, lingkungan, (4) melanjutkan proses reformasi seperti kemandirian bangsa, otonomi daerah, dan lain-lain yang merupakan prakondisi tujuan pembangunan berkelanjutan, (5) menurunkan kemiskinan sebagai salah satu dimensi baik dalam menuju keberhasilan pembangunan berkelanjutan, (6) partisipasi masyarakat luas dalam pengambilan kebijakan, (7) jaminan kekayaan dan keanekaragaman sumberdaya alam dan keanekaragaman budaya bagi pencapaian tujuan pembangunan berkelanjutan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat, (8) menurunkan tingkat kemiskinan, (9) sumberdaya manusia terdidik, (10) bermanfaat bagi seluruh masyarakat terutama rentan (Hardjasoemantri, 2005).
Sementara delapan tujuan yang ditargetkan tahun 2015 dengan Millenium Development Goals (MDGs), meliputi: (1) Mengurangi kemiskinan; (2) Pendidikan untuk semua; (3) Kesetaraan gender; (4) Mengurangi kematian anak; (5) Memperbaiki kesehatan ibu; (6) Memberantas penyakit; (7) Pelestarian lingkungan; dan (8) Kerjasama global.
Dapat dikatakan dari berbagai pertemuan yang dilaksanakan secara global, khususnya yang membahas masalah pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan, soal kemiskinan dan pelestarian selalu secara seimbang dibicarakan di dalamnya. Konteks yang dibicarakan adalah keterkaitan, bukan memisahkan.
Wallahu A’lamu Bish-Shawaab.