Kepalsuan

Sulitnya menentukan antara yang mana kebutuhan dan keinginan. Orang melakukan sesuatu yang bahkan menggadai apa yang ia punya, hanya untuk memuaskan keinginan, bukan menuntaskan kebutuhan. Orang rela melakukan bahkan hal-hal yang tidak benar, hanya untuk …

Sulitnya menentukan antara yang mana kebutuhan dan keinginan. Orang melakukan sesuatu yang bahkan menggadai apa yang ia punya, hanya untuk memuaskan keinginan, bukan menuntaskan kebutuhan. Orang rela melakukan bahkan hal-hal yang tidak benar, hanya untuk memuaskan keinginan dalam hidupnya.

Perbedaan antara keinginan dan kebutuhan besar sekali, namun dikesankan seolah tipis –barangkali setipis ari. Padahal tidak. Seseorang dapat menentukan dengan konkret bagaimana kebutuhan hidupnya. Dengan berbagai perilaku yang hedonis, justru yang keinginan lebih masuk akal dibandingkan dengan kebutuhan yang seyogianya lebih penting.

Orang-orang yang masih bisa logis melihat kebutuhan inilah pada saatnya menjadi orang-orang yang luar biasa. mereka bisa memilih dan memilah yang mana yang harus lebih dahulu dipenuhi, berangkat dari apa yang mereka punya. Tidak mereka dari apa yang mereka harapkan.

Atas dasar itulah, masih adanya orang-orang yang tampak begitu bersahaja, berani apa adanya, dan tidak malu pada hal-hal yang lurus walau tidak terlihat gagah di mata banyak manusia, adalah sepotong kebahagiaan di tengah kegersangan kehidupan kekinian. Model orang yang demikian ada di sedikit di berbagai lini. Mereka ada di jajaran elite, juga ada di barisan rakyat jelata.

Saya menyebut dengan berani apa adanya, disebabkan karena kita sedang hidup dalam dunia yang penuh kepalsuan. Melihat kiri-kanan, kepahitan hidup seperti tersembunyi di balik gordin gemerlapan yang ternyata sebagian besarnya adalah palsu. Tabing gemerlap ini telah membuat begitu banyak orang harus bersembunyi dari hidup apa adanya. Kondisi demikian juga menuntut agar hidup harus diperlihatkan secara berlebih, dan semacamnya.

Paling tidak, kondisi telah menampakkan banyak kita tidak berani terhadap apa yang adanya. Sulit menemukan orang yang bisa dengan perkasa memperlihatkan apa adanya itu. Begitulah ketika ada seorang polisi, yang pangkatnya sudah bripka, lalu menjadi sorotan karena ia memilih jalan untuk memungut barang berharga dari tong sampah. Pilihan seperti ini tidak sederhana. Memungut barang berharga, dapat dijual, akan menghasilkan uang –walau jumlahnya tidak berarti sedikit, akan menghasilkan ocehan tertentu mengingat pekerjaan itu dianggap di bawah standar. Sang polisi itu juga mengakui hasilnya tidak seberapa, setelah ia bertugas. Gaji sepenuhnya dipakai untuk keperluan keluarga. Polisi ini ternyata pernah gagal membuat usaha, lalu dililit utang. Alasan ini yang membuat memilih jalan memulung selepas jam bertugas. Masalahnya adalah memulung itu, dalam kacamata sebagian manusia, adalah pekerjaan setengah martabat.

Apa yang disebut pemulung, sudah tergambar di benak kita sebagai pekerjaan yang bukan saja tidak keren, melainkan juga pekerjaan rendahan. Memulung adalah pekerjaan mengumpulkan barang bekas yang terbuang untuk dimanfaatkan dalam berbagai corak produksi. Limbah atau sampah yang dikumpulkan akan digunakan untuk berbagai kepentingan lain. Mereka yang memulung, dinamakan dengan pemulung. Orang yang disebut dengan pemulung total, mencari nafkah total dengam memungut dan memanfaatkan limbah dan sampah tersebut. Barang tersebut kemudian dijual kepada orang lain yang menampung, dan mereka akan mengolah untuk berbagai komoditi lain.

Jadi untuk orang yang melakukan pekerjaan inilah yang disebut setengah martabat. Dunia penuh kepalsuan ini, seolah manusia yang satu menentukan martabat yang lain. Maka ketika ada orang seperti seorang polisi yang memulung, menjadi berita yang kemudian disiarkan berulang-ulang. Padahal orang yang mencari penghasilan tambahan, apalagi dengan jalan yang tidak merugikan orang lain, bukankah hal yang biasa-biasa saja. Ketika melihat berita itu diangkat dan diulang-ulang di koran dan televisi, lalu mungkin kita harus berpikir ulang mengenai hal yang biasa itu. Di tengah kepalsuan, maka melakukan sesuatu yang dianggap pekerjaan tidak keren, walau dengan jalan yang lurus, barangkali telah menjadi penyebab mengapa banyak kita yang tersentak munculnya orang-orang macam polisi tadi.

Wallahu A’lamu Bish-Shawaab.

Leave a Comment