Kepentingan Umum

Suatu kali, saat saya berkunjung ke salah satu kabupaten, mendapat keluhan penting. Ada dua hal yang ingin saya jelaskan. Pertama, posisi saya yang datang, dan diketahui publik awam saya berasal dari institusi yang terkait dengan …

Suatu kali, saat saya berkunjung ke salah satu kabupaten, mendapat keluhan penting. Ada dua hal yang ingin saya jelaskan. Pertama, posisi saya yang datang, dan diketahui publik awam saya berasal dari institusi yang terkait dengan kata-kata hukum. Pada posisi ini, saya kembali teringat mata kuliah semester satu, mata kuliah Pengantar Ilmu Hukum, yang sering ada penjelasan tentang bagaimana hukum dipandang oleh banyak orang. Sebagian baru menganggap hukum ketika ada yang berbau seragam. Hal itulah yang mengingatkan saya, jangan-jangan orang yang mengeluh itu mengira saya sama seperti orang-orang yang dimaknai sebagai seragam hukum tadi.

Kedua, hal yang terkait dengan sejumlah petak tanah mereka, bahkan ada yang satu-satunya, diambil begitu saja oleh penguasa bawah, untuk membangun jalan umum. Pemerintah kabupaten terkesan lepas tangan. Padahal jika ditelusuri, pengadaan tanah untuk kepentingan umum tersedia, walau jumlah yang berharga standar. Entah mengapa, mereka yang tanahnya diambil untuk jalan, dan semacamnya, fasilitas yang akan dipakai untuk umum, tidak mendapat ganti rugi.

Seiring dengan itu, pengalaman sebelumnya, saya pernah menerima sejumlah pertanyaan, dari teman yang tanah mereka terkena area pembangunan jalan dan jembatan. Ada teman saya yang memiliki sepetak tanah, namun sudah dua kali kena pelebaran jalan nasional. Sebelumnya sudah pernah kena, ketika dilebarkan jalan menjadi delapan meter. Kini jalan diperlebar lagi dan kena lagi. Ada juga teman yang tanahnya kena pembangunan jalan kabupaten. Sedangkan keluarga saya sendiri pernah kena tanah untuk pembangunan jembatan.

Semua kasus tersebut, sangat ironis, karena tanah itu diambil begitu saja. Bukan saja tidak ada ganti rugi, bahkan pelaksana dari instansi terkait, sama sekali tidak berkomunikasi dengan pemilik tanah. Apakah karena mengira untuk kepentingan umum, lantas mereka yang melaksanakan pembangunan untuk kepentingan umum itu bisa seenaknya? Pertanyaan ini seyogianya harus menyadarkan para pelaksana pembangunan untuk menghargai rakyat sebagaimana mestinya.

Sebenarnya terkait dengan hukum, ada dua kepentingan yang harus didudukkan, yakni kepentingan umum dan hal ganti rugi kepada mereka yang punya secara layak. Bukan karena untuk kepentingan umum, lantas tidak menyediakan ganti rugi. Atau masalahnya, ganti rugi itu ada, namun ia lenyap begitu saja melalui kantong-kantong orang yang di dalamnya.

Logika pembangunan tetap mengakomodir. Makanya hukum menjadi sangat penting. Di satu sisi, pembangunan umum jangan terhambat, karena kepentingan pembangunan sangat penting bagi banyak pihak. Intinya yang harus diperhatikan, jangan sampai dengan mekanisme pembebasan lahan itu memperlambat pembangunan. Mekanisme negosiasi dengan hukum lewat peradilan yang cepat, telah tersedia ruangnya. Namun di sisi lain, pembangunan tidak boleh dengan merampas. Di sinilah pelaku pembangunan harus menyelesaikan masalah lahan dengan masing-masing pemilik tanah. Dalam rangka menghargai rakyat pemilik tanah, mekanisme pembebasan lahan melalui hukum sudah tersedia.

Pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum telah diatur dengan UU No. 2 Tahun 2012. Sebagai aturan pelaksana, telah ada Perpress No. 71 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum. Orang-orang yang mempermasalahkan ganti rugi pun, tersedia ruang untuk itu. Ada dua kemungkinan sengketa dalam hal ini, yakni masalah penetapan lokasi dan sengketa penetapan besaran ganti rugi. Untuk sengketa penetapan lokasi lahan/tanah untuk kepentingan umum, domainnya ada pada kewenangan pengadilan tata usaha negara. Sedangkan masalah besaran ganti rugi merupakan kewenangan peradilan umum.

Harus benar-benar diingat, dengan hukum, tanah rakyat itu dibeli untuk pelepasan atau dibebaskan hak. Bahkan bukan hanya lahan, masalah ganti rugi termasuk bangunan yang ada di atasnya. Penetapan ganti rugi sudah ada formatnya. Begitulah hukum menyediakan ruang agar penguasa tidak sewenang-wenang. Semuanya harus berjalan terukur. Jangan karena menganggap hal yang dilakukan untuk kepentingan umum, maka tanah rakyat bisa ambil seenaknya. Mereka dari instansi yang berwenang membangun, memiliki nilai ganti rugi.

Saya sarankan teman saya menempuh jalur hukum, supaya dana ganti rugi itu tidak menguap melalui kantong-kantong mereka yang memegang jabatan. Silakan ditelusuri siapa penanggung jawab program, karena melalui yang bersangkutan bisa diminta pertanggungjawaban.

Satu hal lagi yang sangat penting, bahwa komunikasi dengan rakyat itu sangat penting. Tidak main rampas. Ketika sudah pada posisi ini, tidak lagi masalah ganti rugi. Tetapi harga diri mereka yang memiliki hartanya. Bisa jadi dengan komunikasi yang baik, pemilik tanah akan mewakafkan secara cuma-cuma tanahnya untuk pembangunan.

Saya teringat bagaimana wajah orang-orang yang akan berhadapan dengan hukum. Bagi sebagiannya, berhadapan hukum dianggap sangat rumit dan dibayangkan macam-macam. Dalam kadar ini, negara juga harus lebih mencerdaskan rakyat agar tidak takut mendekatkan diri dengan dunia hukum. Rakyat harus diberi kepercayaan diri untuk selalu menggunakan jalur hukum dalam menyelesaikan masalah dalam hidupnya.

Jika rakyat takut dan tidak berkesan baik dengan hukum, jalan mereka yang mendalih sesuatu yang sebenarnya tidak demikian, nyaman sekali dilaksanakan. Orang-orang yang mengambil untung, dengan dalih kepentingan pembangunan, akan memanfaatkan keadaan ini.

Leave a Comment