Kerakusan

Kemanusiaan telah menjadi amunisi baru dan dipergunakan secara bersahaja dan terencana. Ia pernah menjadi perdebatan pada tataran konsep dan perlindungan. Namun pada awalnya menjadi wacana baru pada akhir abad ke-20 ini. Kata manusia, sama seperti …

Kemanusiaan telah menjadi amunisi baru dan dipergunakan secara bersahaja dan terencana. Ia pernah menjadi perdebatan pada tataran konsep dan perlindungan. Namun pada awalnya menjadi wacana baru pada akhir abad ke-20 ini. Kata manusia, sama seperti kata-kata lainnya, telah lama muncul. Memperlakukan kata manusia menjadi kemanusiaan, manusiawi, dan memanusiakan, tidak terjadi begitu saja. Wacana muncul karena kenyataan perang telah menimbulkan implikasi dan banyak kengerian. Besar sekali harapan yang dihancurkan. Sedangka  di pihak lain, kerjasama secara bersekutu, lalu perlombaan menguasai teknologi senjata, sekaligus menjadi pemilik bisnis jual-beli senjata, yang berlangsung seolah belum mencapai klimaksnya.

Lalu akibat kengerian perang, perdebatan kemanusiaan menjadi penting. Disusunlah banyak peraturan, unifikasi, kodefikasi, bahkan berbagai konsensus untuk menyambut itu. Apa yang terjadi di lapangan? Orang-orang seperti berlomba untuk mendokumentasikan sejarah yang tak berperasaan, yang merusak kemanusiaan.

Dari masa ke masa memperlihat ada tolak-tarik kemanusiaan. Sampai-sampai muncul pertanyaan, apalah artinya kemanusiaan, bila antara program dan aksi, berbeda ibarat hitam dan putih, bagai siang dan malam. Sejak runtuhnya Perang Dunia II, berbagai macam konsepsi penghargaan kemanusiaan dirumuskan. Pada saat yang sama pula, kita mendengar, kita melihat, kita merasakan, manusia yang dihancurkan karena persaingan senjata, teknologi, perang, dan bahkan pertarungan kekuasaan dan wilayah.

Singkat kata, untuk menghormati kemanusiaan, telah ada peraturan atau dokumen –sebut saja idealitas. Tetapi itu belumlah kenyataan, dimana peraturan atau dokumen itu seperti tidak ada artinya saat manusia menjadi korban dimana-mana. Betapa banyak negara-negara besar dan maju justru menjadi penyulut dan pelaku atas pengrusakan kemanusiaan itu.

Negara besar menjadi penyebab bukan tidak ada alasan. Kerakusan menguasai, agar ada yang dikuasai. Sebagai negara besar, seolah baru bisa disebut besar, ketika ada sekutu-sekutunya yang kecil dan bergabung atau terpaksa bergabung. Ketika pada posisi ini, orang lalu bisa menggugat, apa yang membedakan konsep demikian dengan konsep koloni pada masa lalu? Secara fisik, tentu ada beda. Koloni, menguasai wilayah dan manusia seutuhnya, beserta segenap sumber daya alam di dalamnya secara fisik dan tampak. Sedangkan pada masa kini, manusia tidak secara fisik dikuasai, namun berbagai kesepakatan justru hasilnya mengalir ke negara-negara yang kelak akan disebut tuan.

Begitulah, negara-negara besar lalu menjadi penghisap darah, seolah-olah membantu banyak negara kecil. Padahal dibalik semua itu, selalu ada kompensasi yang tidak semua orang bisa memahaminya secara jelas. Mengapa sumber daya alam di negara tertentu, yang kuasai justru negara lain? Apa pasal? Pada saat yang sama, kondisi negara-negara yang memiliki sumber daya alam sungguh memprihatinkan. Atas sumber daya alam itu pula, berbagai negara saling bersaing untuk tidak hanya mendapatkan bagian, melainkan untuk menjadi penguasa seutuhnya.

Ada kemanusiaan yang terlukai. Seiring terjadi juga pendomplengan, kata kemanusiaan untuk perang dan berbagai konteks yang menghinakan. Kondisi demikian terjadi didukung oleh peminggiran dan kehampaan spiritual.

Bagaimana kondisi itu diratapi? Konsep utama adalah meninggalkan manusia yang telah nyata-nyata tidak memperlakukan manusia sebagai manusia.

Leave a Comment