Dalam bukunya, Hukum Lingkungan di Indonesia, Takdir Rahmadi, menyebut sejumlah kondisi kritis bangsa yang terkait dengan lingkungan: penggundulan hutan secara masif, lahan kritis dimana-mana, menipisnya lapisan ozon –yang jika ditilik justru ada kontribusi negara-negara besar juga, pemanasan global, tumpahan minyak di laut, ikan mati di anak sungai karena berbagai zat kimia, dan punahnya spesies-spesies tertentu. Semua kondisi ini adalah masalah-masalah lingkungan hidup serius yang harus ditangani (Rahmadi, 2013).
Semua masalah tersebut, pada dasarnya muncul dari aktivitas manusia –posisi aktivitas sendiri sangat dipengaruhi oleh populasi manusia yang meningkat tajam dan pemerintah di dunia kerap gagap dalam melakukan pengelolaannya. Jadi jika dipertajam, ada dua bentuk perilaku yang tujuannya sama yaitu tidak melakukan pengelolaan secara baik, dan terjadinya berbagai kerusakan akibat tidak adanya pengelolaan atas populasi manusia.
Saya membaca satu buku yang ditulis Emil Salim, yang judulnya Ratusan Bangsa Merusak Satu Bumi. Buku ini pada dasarnya kumpulan tulisannya baik artikel maupun makalah dalam berbagai kesempatan, lalu diterbitkan Penerbit Buku Kompas. Hal yang dengan tegas disampaikannya, betapa dalam dua abad terakhir, seluruh negara di dunia membangun dengan merusak bumi yang hanya satu-satunya ini. Seperti pemanfaatan tanpa batas minyak bumi dan batu bara sebagai penggerak utama pembangunan, tanpa disadari berdampak serius pada menaikkan pelepasan gas rumah kaca dari hanya 280 ppm sebelum revolusi industry (tahun 1780) menjadi 380 pada awal abad 21. Kenyataan inilah yang menjadi biang keladi terjadinya proses pemanasan global dan perubahan iklim yang kini mengancam hidup segenap penduduk bumi (Salim, 2010).
Dengan berbagai pengalaman khusus Emil Salim terkait lingkungan, termasuk ketika tahun 1972 dikirim Presiden Soeharto dalam Konferensi Bumi di Stockholm, apa yang diingatkan dalam buku ini menjadi satu yang penting. Istilah manusia satu bumi, menandaskan betapa ia berada dalam ancaman nyata sebagai satu-satunya tempat tinggal manusia. Memang para ahli menjajaki sejumlah planet lain yang memungkinkan sebagai tempat tinggal alternatif, yang entah kapan hal itu akan nyata.
Secara sederhana, semua potensi dan dampak bisa diperkirakan dengan baik. para ahli bisa memperhitungkan, dengan berbagai fakta kekinian, maka dalam jangka waktu sekian akan dirasakan fenomena apa lagi, bukanlah sesuatu yang berlebihan. Pasti orang-orang sudah mulai berpikir soal tempat: kemana kita akan bergeser ketika bumi ini pada saatnya hancur. Barang kali kiamat. Ketika kondisi bumi sudah melarat, ada orang yang mungkin sudah berpikir untuk menyiapkan ruang angkasa sebagai tempat singgah. Namun, tentu saja, berbiaya mahal dan belum jelas progresnya.
Keadaan bumi sedang bermasalah. Eksploitasi alam sudah demikian riskan. Pemanfaatan sumber daya, sudah melebihi dari apa yang dibutuhkan. Manusia dikendalikan oleh keinginan, bukan oleh kebutuhan. Sumber daya alam yang tersedia, dianggap sebagai potensi kesejahteraan. Masalahnya adalah pemahaman terhadap kesejahteraan secara serampangan. Ada yang menganggap sumber daya alam, secara langsung akan meningkatkan ekonomi masyarakatnya. Akan tetapi sedikit yang bicara betapa potensi kehancuran dari eksploitasi sumber daya alam itu. Apalagi di hadapan penguasa dan pengusaha yang rakus, sumber daya alam justru akan menjadi sumber penderitaan yang tidak berkesudahan.
Perselingkungan penguasa dan pengusaha yang rakus, akan memosisikan orang-orang kritis terhadap pembangunan berkelanjutan sebagai musuh pembangunan. Orang yang dalam posisi ini sangat kritis, dan melihat banyak daerah tidak berhasil meningkatkan kesejahteraan dengan sumber daya alam, diposisikan sebagai musuh dalam pembangunan. Kekayaan itu hanya akan membawa keuntungan bagi mereka yang menggarap dan kastel pemodal.
Entah siapa nantinya yang akan tersadarkan hitung-hitungan Komisi Pemberantasan Korupsi soal potensi korupsi dari sumber daya alam. Hal yang lebih parah, ketika sumber dana gelap ini menjadi modal dalam arena kontestasi politik para politisi busuk dan penyembah oligarki.
Semua masalah dan dampak yang muncul, menjadi alasan bagaimana hukum lingkungan itu dibangun. Saya yakin problematika ini disadari. Diakui pula kesadaran bahwa lingkungan harus mendapat perhatian semua pihak. Namun konsep pembangunan yang merusak masih saja dominan berlaku secara global.
Al-Quran memperingatkan betapa manusia menjadi aktor penting yang membuat kerusakan di muka bumi ini. Apa yang diingatkan dalam Salah satu pola pengrusakan adalah dengan mengeksploitasi sumber daya alam dan memosisikan semata-mata sebagai objek. Pola demikian jamak dilakukan oleh manusia-manusia modern sekarang ini. Pola demikian pula yang menyebabkan manusia semakin angkuh dan tamak. Kebutuhan akan sumber daya alam tidak pernah tercukupi. Dari hari ke hari selalu dipikirkan untuk mengeksploitasinya lebih banyak lagi.
Saya berbagai masalah ini harus secara serius dipikirkan. Secara ideal, hukum terus dibangun dan dibentuk berhadapan dengan ruang nyata berbagai kerusakan alam berttambah menganga.
Saya kira manusia Indonesia tidak boleh lambat merespons berbagai masalah yang telah disebutkan. Jangan tunggu ketika semua sudah sekarat menikmati dampak kerusakan alamnya.
Wallahu A’lamu Bish-Shawaab.