Naskah perjanjian damai (MoU) yang ditandatangani di Helsinki 15 Agustus 2005 sangat penting, karena berdasarkan konsensus inilah dibentuk UUPA yang berisi 273 pasal dan 40 bab. Lahirnya MoU dan UUPA tidak terlepas dari tsunami yang terjadi tanggal 26 Desember 2004. Tsunami menjadi jalan masuk penting dalam penyelesaian konflik Aceh. Sehingga keberadaan UU ini tidak bisa disebut sebagai UU biasa (Tripa, 2016; Taqwaddin, Rinaldi, Ibrahim, Idami, & Jeumpa, 2009).
Dengan demikian, UUPA jelas tidak lahir begitu saja dengan sendirinya. Ada proses lain yang menentukan sehingga ada konsensus untuk melahirkan undang-undang ini.
Dua peristiwa di atas mencerminkan bagaimana tautan itu. Antara peristiwa pertama (MoU) dengan kedua (UUPA), hanya berjarak sekitar setahun saja. Undang-undang sebagai implikasi dari panandatanganan damai, dapat direalisasikan dalam waktu yang cepat. Barangkali dalam sejarah pembentukan undang-undang, penyelesaian UUPA termasuk salah satu yang paling cepat dalam proses legislasi di Indonesia.
Cepatnya selesai UUPA tersebut, tidak lepas dari banyak pihak yang terlibat dalam penyelesaian masalah Aceh. Masalah yang sudah menggurita dan berdarah-darah dalam tiga dekade terakhir. Sekiranya diukur dari awal kelahiran Aceh Merdeka pada 4 Desember 1976, maka sampai 2005 sudah berusia tiga dekade. Sebelumnya, ada babak sejarah berdarah yang sudah selesai. Pemberontakan Darul Islam, 1953.
Ada perulangan sejarah yang secara internal dirasakan oleh orang Aceh dan orang Indonesia. Kisah berdarah sudah dialami berulang kali. Namun damai tak juga tercapai dengan sesama. Ada saling tidak percaya yang diakibatkan sudah beberapa ingkar janji oleh penguasa Republik. Jadi ketika ada pihak yang tidak percaya, wajar karena di satu pihak sudah terlalu ingin merasakan hasil positif secepatnya. Di pihak lain, pengulangan ingkar janji yang sudah berlangsung, sulit sekali untuk dilupakan.
Secara internal, sesungguhnya harapan menyelesaikan masalah secara damai sudah berlangsung lama. Ada rasa saling tidak percaya menyebabkan harapan itu seperti mimpi. Lalu tsunami, 26 Desember 2004, membuat semua peta terbuka. Berbagai kontribusi dan keterlibatan asing di Aceh dalam rehabilitasi dan rekonstruksi, membuka peluang penyelesaian masalah. Dan dalam waktu yang tidak terlalu lama, capaian kesepakatan damai itu pun berhasil.
Ada satu penting yang harus dicatat dan selalu harus diulang-ulang semua untuk anak bangsa. Pemerintah Republik Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka sudah menegaskan komitmen untuk menyelesaikan konflik Aceh secara damai, menyeluruh, berkelanjutan dan bermartabat bagi semua.