Konsisten

Kita tidak tahu persis apa yang akan terjadi dalam hidup kita. Doa untuk mendapat akhir hidup yang baik, selalu mendapat konteksnya dalam kehidupan manusia. Orang yang berperangai buruk, belum tentu mendapat akhir yang buruk. Orang …

Kita tidak tahu persis apa yang akan terjadi dalam hidup kita. Doa untuk mendapat akhir hidup yang baik, selalu mendapat konteksnya dalam kehidupan manusia. Orang yang berperangai buruk, belum tentu mendapat akhir yang buruk. Orang yang baik-baik, juga belum tentu akan berakhir baik.

Konsistensi selalu menjadi taruhan. Orang yang buruk tiba-tiba mendapat hidayah dan berubah 180 derajat. Sebaliknya mereka yang baik, tiba-tiba entah mendapat cobaan dan godaan apa, hidupnya bisa berubah. Maka doa untuk memperteguh sebagai orang baik, sangat penting selalu dipinta.

Berbuat yang baik juga termasuk didalamnya menyokong aktivitas yang baik. Mereka yang bergerak untuk membantu orang lain dalam kebaikan, harus disahuti dengan penuh sukacita. Karena kita belum tentu mampu melakukannya, sebagaimana ada orang yang mungkin bisa berbuat yang luar biasa.

Pernah suatu pagi, saya berkesempatan mengunjungi seorang teman yang lama sudah tidak berjumpa. Sebenarnya kami sering berkomunikasi lewat telepon atau pesan pendek, namun tidak bertatap muka. Lalu tiba-tiba suatu waktu, ia menghubungi saya, mengutarakan maksudnya ingin melaksanakan satu kegiatan penting, yakni menyantuni anak yatim. Ketika mendengar rencana tersebut, tidak saja sebagai teman, saya tentu menyokong dan memberi semangat. Lalu bersama-sama teman-temannya yang lain, ia lalu berusaha memogramkan untuk direalisasikan. Modal awalnya sangat sederhana. Ia menyampaikan maksud kepada teman-temannya –sebagaimana ia sampaikan kepada saya. Tentu sambutannya tidak semua sama. Ada yang menyambut penuh suka cita, namun ada juga yang biasa-biasa saja.

Untuk menyokong hal tersebut, saya langsung mentransfer menurut kemampuan saya. Lalu dengan berbekal telepon, ia lalu hubungi banyak orang. Tidak disangka, 15 hari kemudian, terkumpul dana hingga 50 juta. Santunan yang awalnya direncanakan satu kampung, tiba-tiba diperluas menjadi tiga kampung, dengan jumlah anak mencapai 120 orang. Jumlah itu bukan sedikit. Lalu dana yang masuk dibagi dengan jumlah anak tersebut. Dan anak mendapatkan jumlah yang memadai.

Tak berapa lama setelah itu, ia memberi kabar tentang penyaluran tersebut. Setelah pulang kampung, saya menyediakan waktu mengunjunginya. Ternyata selain sudah disampaikan lewat telepon, ia juga sudah mencetak hasil laporannya secara tertulis. Semua pemasukan dan pengeluaran tertera di sana. Ia juga dengan tenaga yang dimiliki, berusaha mengantar laporan tersebut kepada setiap orang yang menyumbang. Ia tahu tidak semua orang berharap akan mendapatkan laporan tertulis tersebut, namun pola yang diperlihatkan sangat penting bagi kepercayaan orang-orang yang sudah menyumbang. Untuk jangka panjang, sekecil apapun santunan yang diberikan orang kemudian diteruskan kepada yang berhak, sudah seharusnya mendapatkan laporan sebagaimana mestinya. Inilah yang berusaha dilakukan.

Saya merasa ia melakukan sesuatu dengan penuh tanggung jawab dan nyaris sempurna. Teman saya itu, ketika berjumpa mengungkapkan satu hal yang sangat mengharukan. Ada satu kejadian yang membuatnya tergerak melaksanakan hal tersebut. Suatu kali, ketika ia sedang duduk di warung kopi depan rumahnya, ia menguping pembicaraan anak-anak yang bermain di depan warung. Masing-masing anak, jauh sebelum bulan ini, sudah tersedia pakaian baru. Dengan sesama temannya, mereka sangat fasih bercerita tentang merek baju, celana, sandal atau sepatu. Terlihat seperti anak kota yang sangat memahami perkembangan merek pakaian. Atau bisa jadi, kemungkinan lain, karena mereka rajin menonton iklan pakaian anak-anak di iklan-iklan televisi. Lantas pertanyaan itu tertuju kepada salah seorang anak, yang menjawab belum memilikinya. Ia menunggu penghasilan ibunya yang bekerja di pinggir laut.

Saya bisa merasakan bagaimana seriusnya ia berusaha. Seorang laki-laki yang dalam kondisi demikian tidak bisa menahan air matanya. Katanya, tidak terduga kadang kondisi tersebut mengundang semangat untuk bisa berbagi kebahagiaan kepada banyak orang. Dan saya yakin, ia sudah berusaha melakukannya, bagaimana pun hasilnya.

Saya tahu semangat semacam ini tidak lahir dari semua orang. Tidak pula semangat semacam itu lahir dalam setiap waktu. Ada perpaduan antara orang dan waktu. Keduanya harus berpadu, sehingga semangat untuk merealisasikannya akan muncul. Soalnya banyak orang merasa ingin membantu bantu orang. Pada saat yang sama, semangatnya patah saat waktu dianggap tidak tepat. Waktu di sini, terutama terkait kehendak ingin mendapat sokongan banyak orang.

Untuk momentum tertentu, masing-masing kita memiliki banyak kebutuhan. Seperti momentum lebaran, mereka yang banyak kebutuhan tentu membutuhkan banyak uang. Orang yang bisa menahan diri, mungkin akan sedikit berbeda dengan orang lain.

Momentum semacam ini tidak selalu berbicara tentang kebutuhan. Sebagian kita berbicara tentang keinginan-keinginan. Ada perbedaan yang sangat hakiki. Hal yang menjadi keinginan itu, kadangkala bukan sesuatu yang sangat kita butuhkan. Ia bisa jadi pada lapis sekian. Sedangkan kebutuhan dasar adalah sesuatu yang wajib dipenuhi.

Kenyataannya orang semakin mengejar keinginan dibandingkan dengan memenuhi kebutuhan. Keinginan inilah yang menyebabkan orang-orang berlomba-lomba memperlihatkan kehidupannya yang wah dan berlebih. Keinginan yang menyebabkan seseorang ingin selalu menyaingi apa saja yang sudah dimiliki oleh orang lain.

Sebagian kita sangat sensitif untuk memahami ada fenomena demikian. Menyampaikan maksud besar terhadap orang-orang yang lebih mengutamakan keinginan dibandingkan kebutuhan, bukan jalan keluar. Bahkan orang-orang yang bersemangat besar sering dipatahkan semangatnya begitu saja.

Bicara tentang kondisi anak kampung, mungkin sudah agak berbeda. Apa yang diceritakan teman saya di atas adalah pengecualian. Saya teringat dulu saat masih kecil, saat kehidupan masih sulit. Ketika gaji seorang pegawai rendahan hanya sekian, bahkan kami tidak semua bisa memakai baju baru. Tidak setiap waktu baju baru bisa dipakai, karena semua disimpan hanya dipakai saat lebaran. Tidak pada waktu yang lain. Anak yang paling kecil, biasanya selalu mendapat limpahan baju yang tahun sebelumnya dipakai oleh yang lebih tua. Namun baju biasanya masih baru, karena alasan tadi, baju-baju baru itu tidak dipakai pada setiap waktu.

Saya teringat dengan perkembangan sekarang yang setiap rumah bisa memiliki motor dua atau tiga, lengkap dengan televisi dan antena parabola di depan rumahnya. Maka sungguh, ketika ada cerita seperti diungkapkan teman saya, membuat batin kita trenyuh. Entah hati kita masih bisa bergerak.

Leave a Comment